Aku,
Kamu dan Kebahagiaan
“Lia, ini sudah terlalu lama, pulanglah”
suara Ana di ujung telepon terdengar gusar. “Apa kamu lupa kamu punya banyak
tugas di sini?” bukan itu yang ingin Ana katakan. Ana hanya ingin mengatakan.
Jangan buat kami hawatir teman. Dia tak pernah bisa mengatakan sesuatu
secara verbal dan jelas.
“Iya, aku akan segera pulang. Aku juga tak
ingin menghabiskan lebih dari setengah tabunganku di sini” jawabku sekenanya.
“Temenku yang di Bandung bilang dia nggak
ketemu kamu di stasiun? Benar itu? Terus kenapa handphone kamu nggak aktif selama
lebih dari dua minggu?” Ana tetaplah Ana. Sahabat terhebat yang pernah aku
miliki. Dia tak perlu mengatakan jika dia begitu teramat-sangat hawatir kerana
aku tiba-tiba menghilang, tapi dari pertanyaannya itu aku tahu dia lebih dari
sekedar hawatir. Aku baik-baik saja kawan. “Kapan pulangnya? Biar kami jemput
di bandara”
“Naik kereta saja. Aku lebih suka pakai
kereta”
Sudah waktunya aku kembali.
Sahabat-sahabatku menantikan kehadiranku. Aku sudah membuat meraka terlalu
khawatir dengan hilangnya aku selama lebih dari dua minggu. 17 hari tepatnya.
Keputusanku untuk menyendiri memang tak bisa diganggu gugat. Tidak juga bantuan
dari teman Ana yang berada di Bandung. Bagiku itu bukan sebuah bantuan,
melainkan bentuk lain dari pengawasan yang Ana siapkan dan aku benar-benar
sedang tidak ingin ada pengawasan dalam bentuk apapun. Lalu aku tak pernah
menemuhi Edy, teman yang Ana minta menemaniku selama di Pangandaran.
Ugi memandangiku tanpa berkata apapun. Kami
sama-sama terdiam. Lama sekali. Lebih dari
dua minggu ini dia adalah tempatku mengadu. Entah kenapa aku merasa
nyaman berbagi cerita dengannya. Pengalamanku yang cukup menyakitkan tentang
orang-orang di sekitarku membuat aku menjadi pribadi yang sulit menerima orang
baru di hidupku, tapi tidak dengan Ugi. Dia berbeda. Dia bisa membuatku merasa
nyaman untuk menceritakan apapun.
“Aku pulang ya A’, terimakasih telah dijaga
selama di sini” dia hanya menatapku. Tak ada satu katapun yang terdengar
darinya. “ Kenapa diam? Kan
kita masih bisa ketemu lagi. Insyallah,”
Tak bosannya kami menyaksikan semburat
senja yang indah di ufuk barat. Seperti lembaran permadani jagad raya yang
menutupi langit dengan warnanya yang anggun. Kemerahan bersulam emas dan
sedikit gumpalan awan abu-abu berlalu-lalang. Bertambah cantik dengan pantulan
cahaya matahari di gelombang laut yang tenang, Seperti dilatasi dua benda yang
sama-sama ingin menunjukkan kecantikannya. Ditambah semilir angin Pangandaran
yang menenangkan itu, membuat semua beban serasa menguap. Kamu
benar A’, aku telah jatuh cinta dengan semilir angin pangadaran.
“Jadi kapan pulangnya?” suaranya terdengar
serak. Tatapannya tak beralih dari senja yang kemerahan itu.
“Besok,” jawabku
“Tetaplah di sini” ucapnya lirih.
“Aku ingin, tapi aku punya banyak tanggung
jawab di Surabaya .
Aa’ kapan-kapan mainlah ke Surabaya .
Aku yang akan menemani” kenapa jadi aku sekarang yang membujuknya? Terkadang kamu seperti anak
kecil juga ya Tuan penolong. “Atau aku yang akan ke sini lagi”
![](file:///C:/DOCUME~1/admin/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif)
Tak ada yang menduga aku bisa pulih sedemikian cepet. Ana
terheran ketika aku berlari dengan senyum mengembang menyambut pelukannya. Dia
menatapku penuh tanya ketika kami bertemu untuk pertama kali di stasiun Gubeng,
seperti tak percaya menyaksikan 1800 perubahanku. “Nice to see u sista” ucapnya sembari
memelukku erat namun dengan nada yang masih tak yakin.
“Semua baik-baik sajakan?” tanyanya untuk kesekian kali, dan aku
mengangguk mantap meyakinkannya jika aku tetap temannya yang sama, yang 17 hari
lalu dia lepas kepergiannya dengan sisa hidup yang sepertinya tak akan lama.
Ku lihat juga semua temanku datang menjemput. Lengkap. Beserta
Chofi, suami dari Tucha. “Mbak Lia.., kangen” tucha memelukku erat. Seperti
telah lama sekali kami tak bertemu. Setelah itu Icha dan Saidah. Semuanya
menyambutku dengan bahagia.
Sudah kuputuskan untuk mengubur kisah itu dalam. Menyimpan masa
lalu itu dengan rapat. Tak perlu lagi aku mengingat seseorang yang mungkin kini
tak lagi mengingatku. Aku bisa melakukan itu pada kedua orang tuaku, juga
keluargaku, mana mungkin aku tak bisa melakukannya pada seseorang yang
sebelumnya juga adalah seorang yang asing.
Setelah itu, aku kembali pada rutinitasku. Sebagai manager
marketing courporate kami. Kangen sekali aku pada ruangan kecilku di lantai
tiga ruko yang kami beli dengan susah payah ini. Ruko yang kami bilang sebagai
cikal bakal dari gedung pencakar langit yang akan kami miliki nanti.
Semua tetap sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Tetap
berantakan dengan kertas catatan yang tergelatak di sembarang tempat. Hmm,
ternyata aku memang tak pernah bisa rapi. Aku menghela nafas berat, lalu
menertawakan kekonyolanku sendiri. Sepertinya teman-temanku tidak menyentuh
sama sekali barang-barangku di ruangan ini. Aku memang tak pernah suka orang
lain memindahkan barang-barangku tanpa seizinku. Dan itu yang mereka lakukan
untukku. Tak memindahkan satu barangpun dari ruangan ini.
Rasanya sudah lama sekali aku tak melihat kesibukan di jalan
raya Karang Menjangan dari jendela ruanganku. Sesuatu yang dulu sering aku
lakukan sebelum cinta Daniel menjadikanku mayat hidup karena perpisahan itu.
Aku selalu suka menikmati keramaian jalan Karang Menjangan. Jalan utama yang
persis di depan ruko kami. Tak terlalu padat dengan aktivitas lalu lintas.
Hanya sesekali dan pada jam tertentu saja kepadatan terjadi di sana , dan itupun tak terlampau parah
menurutku. Kendaraan-kendaraan itu seperti sedang berlomba menaklukan waktu.
Saling berkejaran dengan satu tujuan pasti, untuk segera menemui arah lari
mereka. Aku menyaksikan deretan itu, seperti melihat pada diriku sendiri.
Melihat kaki kecilku yang sedang berlari mengejar dimensi hidup untuk segara
sampai di tujuan hidupku, berlari menjemput mimpi. Ah, sok dramatis sekali.
Lokasi ruko kami
yang tepat menghadap jalan raya itu
menjadi sangat strategis dengan diapit antara rumah sakit umum daerah Dr.
Soetomo dan beberapa perguruan tinggi terkenal di jawa timur. Tentu saja hal
itu memberi dampak yang sangat baik untuk bisnis yang sedang kami kembangkan.
Akses yang mudah adalah salah satu syarat yang harus ada untuk pengembangan
bisnis seperti yang sedang kami geluti.
Kluing, handphoneku
berbunyi. Sebuah sms masuk.
“Pagi Lia manis,” dari nomor baru. Aku tak pernah suka membalas
sms-sms iseng seperti ini. Aku biarkan saja. Aku kembali menikmati pemandangan
di bawah sana .
Kluing, Kembali satu sms
aku terima.
“Aku tahu kamu tak akan membalas sms seperti ini” aku mulai
penasaran. Tapi aku mencoba tak perduli. Jika orang itu perlu pasti akan
mengatakan kepentingannya menghubungiku. Belum sempat aku menikmati lagi pemandangan
di bawah sana ,
satu sms kembali aku terima. “Maukah kamu mentraktirku es kelapa muda di
pinggiran pantai Pangandaran?” aku terbelalak. Ah kamu, suka sekali memberiku
kejutan.
Segera kudial nomor baru itu dan mendapati suara cekikikan dari
seberang sana .
“Assalamualaikum Manis” entah kenapa aku seantusias ini menyambut telepon
darinya.
“Waalaikum salam” jawabku. “Jahat ah, aku pikir siapa tadi,
jangan suka iseng atuh”
“Keisengan yang paling aku suka ya ngisengin kamu” aku dengar
tawanya yang renyah. Tawa yang membuatku rindu pada pemiliknya. Ups? Rindu?.
“Kok Aa’ tahu nomor teleponku?” seingatku aku tak pernah
memberinya nomor handphone. Dari mana dia mendapatkannya?
“Dunia sudah maju manis, nggak sulit buat ngelacak keberadaanmu”
lalu kami tertawa bersama.
![](file:///C:/DOCUME~1/admin/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif)
“Di Tasikmalaya? Kamu yakin?” Saidah mencoba menebak
keseriusanku untuk membuka cabang di sana .
“Enggak boleh” Saidah menolak usulku. Dia tahu repotasiku ketika menghadapi
permasalahan, lari dan menghilang atau memilih menyelasaikannya dengan caraku
sendiri, apapun bentuknya. Apalagi untuk permasalahan seberat kemaren, mungkin
Saidah khawatir jika aku akan berbuat nekat dengan cara yang tidak akan mereka
tebak sebelumnya.
“Usaha kita di sini sudah bisa berdiri tanpa aku, atau aku bisa
mengontrolnya di Tasikmalaya nanti” aku mencoba melobi sahabat-sahabatku ini.
Mereka tampaknya masih belum mempercayaiku apalagi ditambah dengan peristiwa
menghilangnya aku selama 17 hari.
“Kita baru memulainya di sini Lia, mana mungkin kamu sudah
meninggalkannya” Saidah bersikeras.
“Kita perlu perluasan secara nasional” jawabku diplomatis.
“Kita kuatkan dulu yang di sini”
Icha melengkapi. Mereka tentu tahu, aku tak mudah dipatahkan tanpa
argumentasi yang lebih kuat dari keputusanku. “Jangan terlalu terburu-buru” Icha
menambahi.
“Aku yakin usaha ini akan berdampak baik. Tasikmalaya daerah
yang startegis teman” apa kalian sudah tahu kalau aku juga ingin menjauh dari
hiruk-pikuk Surabaya ?.
“Kenapa dengan Tasikmalaya?” Ana memancingku dengan analisis
yang mungkin bisa mematahkan
keteguhanku.
“Karena Tasikmalaya memiliki potensi di bidang yang tengah kita
jalani. Pariwisata di sana
sedang berkembang baik. Banyak investor yang menilai Tasikmalaya sebagai daerah
dengan prospek investasi paling cerah dibandingkan daerah lain. Pemerintah
tengah mengembangkan daerah ini untuk menjadi daerah tujuan wisata dan belanja.
Kiblat wisata dan belanja bukan lagi melulu ke Bandung
atau Jogjakarta ,
melainkan sudah bergeser ke selatan jawa, yaitu Tasikmalaya.” jawabku dengan
logika ekonomi yang aku pelajari. Aku tak berlebihan karena memang itulah
kenyataannya. Tasikmalaya memiliki potensi yang baik untuk pengembangan usaha
industri kreatif kami. Pun memiliki cintaku yang tertinggal disana. Cinta yang
takku tahu kapan mulai berseminya. Mungkin sejak ciuman pertama itu, aku
langsung jatuh hati pada Tuan
penolongku.
“Berapa nilai yang kamu targetkan?” dengan dingin khas pengusaha
muda, Ana mencoba beranalisis atau sekedar menakutiku dengan kata target.
Sepertiya kamu belum begitu mengenalku Ana.
“Dua tahun, BEP 100%” Ana tersenyum. Tanda dia menerima
tantanganku.
![](file:///C:/DOCUME~1/admin/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif)
Setelah kepulangaku ke Surabaya ,
tak sedikitpun mengurangi kedekatanku dengan Ugi. Kami masih sering berbagi
kebar melalui media apapun yang memungkinkan kami bisa berkomunikasi. Melalui
seluler, BBM, Yahoo Messengger atau pun sekedar inbox Facebook,.
“Kamu serius mau membuka cabang di Tasikmalaya?” tanyanya
antusias. Aku mengangguk dan memberinya senyum termanis. Video Messenger memudahkan kami berbagi ekspresi. “Kapan rencananya?”
“Bulan depan, mau survey lokasi. Kalau ada yang pas, langsung
mengurus kepindahan. Ini baru melakukan persiapan awal”
“Nanti aku bantu mencarikan tempat yang strategis” Meski
remang-remang dari layar Video Messenger,
aku bisa melihat semangatnya. “Aku kenal beberapa orang yang bisa membantu
untuk urusan bisnis seperti ini” Aku mengangguk.
“Lia, emm, aku boleh mengatakan sesuatu yang sedikit serius?”
Nadanya berubah. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang berat.
“Naon A’?”
“Mau ikut bersamaku?” Aku tatap pemuda yang tergambar di balik
layar maya Video Yahoo Messenger. Dia
seperti sedang berdiri di sampingku, dan aku mengangguk bahagia.
“Ke mana kamu akan mengajakku?”
“Aku ingin membawamu ke sebuah tempat, yang
hanya akan ada Aku, Kamu dan Kebahagiaan.”
![](file:///C:/DOCUME~1/admin/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif)
Aku ingin membawamu ke sebuah tempat, yang
hanya akan ada Aku, Kamu dan kebahagiaan.
Perkenalkanku dengan A’ Ugi memjadi titik baru dalam hidupku.
Kehadirannya seperti sebuah oase yang aku temukan di tengah gurunku yang
panjang. Dia datang membawa kebahagiaan untukku dengan tak terhingga.
“Kenapa kamu mencintaiku?” tanyanya di suatu pagi yang indah di
tengah padang
rumput hijau di bawah kaki gunung Galunggung , Tasikmalaya.
Aku menatapnya dalam. Seperti mencari jawaban dari
pertanyaannya. Aku mencintaimu karena kamu mempunyai senyum yang menenangkan
cinta, lihatlah bibirmu yang merona seperti bayi itu, berpadu manis dengan
kulitmu yang langsat membuat pipimu akan merona jika kau ketahuan memandangiku
yang sedang berdandan, seperti seoarang gadis yang tersipu ketika dirayu
kekasihnya. Atau lihatlah pula hidung kebanggaanmu itu, mancung runcing dengan
gagah. Tapi dari semua itu, aku lebih suka matamu. Matamu yang indah. Mata
elang yang membuatku selalu merasakan cinta yang besar ketika menatapnya. Aku
mencintaimu lebih dari kata-kata.
“Aku mencintaimu karena kamu bisa memperlakukanku dengan baik
A’, tak kurang, tak berlebih” aku genggam tangannya yang hangat. Meyakinkan
jika semua yang aku katakan benar adanya. “Kenapa Aa’ mencintaiku?”
Dia menatapku dengan mata indahnya, mata yang selalu membuatku
jatuh cinta itu. Mata elang yang menyejukkan.
“Karena aku terlahir untukmu”
Ah, seakan segala keindahan dunia tercurah sekali lagi padaku.
Lebih dari ketika Daniel mengatakan pujiannya padaku waktu itu. Lebih dari kebahagiaan
wanita manapun di dunia ini. Lebih dari semua cinta yang pernah ada.
Aku hanya wanita
Yang
ingin mencintaimu dengan sempurna
Seperti malam yang malang tanpa gelap
Laksana pagi yang hilang tanpa terang
Aku hanya wanita
Yang ingin mencintaimu dengan benar
Seperti bilangan ganjil dengan genap
Laksana detak jantung dalam hitungan
Aku hanya wanita
Yang ingin mencintaimu dalam nyata
Seperti bias dalam ruang hampa
Laksana cakrawala dalam semesta
Aku hanya wanita
Yang akan mencintaimu selamanya
Seperti setia angin kepada udara
Laksana kepatuhan hamba kepada Tuhanya
Aku hanya wanita
Yang akan selalu menemanimu dalam doa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar