Grand Desain
Tak terasa sudah dua tahun terlewati. Semua berlalu begitu
cepat. Kahadirannya telah menjadi penyemangat baru yang membuat aku kembali
hidup. Kusiapkan sebuah kejutan kecil malam ini. Beberapa hidangan istimewa
tersaji yang manis di atas meja kecil beralas kain parasit bunga-bunga
perpaduan putih, ungu dan pink. Cantik sekali.
Letak balkon rumah yang berada di lantai dua menunjukkan
pemandangan yang tak kalah istimewanya. Langsung menghadap ke arah perkotaan
yang hingar dengan lapu kelap-kelip. Kilaunya seperti bintang yang lengkap di
saat malam cerah, dan disaksikan dari sebuah padang rumput yang luas yang tenang. Indah
sekali.
Kluing, handphonku
berbunyi. Sebuah sms masuk. ID yang tertulis, My Destiny.
“Apa Bunda sayang? Papa masih banyak kerjaan ni,” duuh, kenapa masih sibuk sih apa dia
lupa tentang hari ini, Gerutuku.
“24 Desember 2010, come to
me” cepat ku kirim balasannya.
“Papa baru selesai jam sembilan ni, bagaimana?”
“Bawel ah, pulang aja cepat dan lihat aku dengan cintamu ;)”
pasti dia penasaran, aku tahu siapa dia. Ku non-aktif kan ponsel dan kembali bergelut dengan kado
spesial untuk kakasihku.
Tak terasa sudah dua tahun berlalu. Semua berjalan begitu cepat.
Secepat aku bisa menghadirkannya di hidupku. Aku pikir, aku takkan pernah jatuh
cinta lagi setelah rencana pernikahanku dengan Daniel berantakan. Sebuah
pernikahan indah yang aku pikir akan berakhir hanya dengan kebahagiaan nyatanya
tak pernah menemui ujung mahligai itu. Daniel menghianatiku, dan aku terluka
demikian parah hingga pernah mengikrarkan diri takkan pernah jatuh cinta lagi.
Daniel Impeesa,
sosok istimewa yang pernah hadir di hidupku.
“Daniel Impeesa” waktu pertama kali dia memperkenalkan namanya.
Perkenalan di sebuah pertemuan organisasi kepanduan yang diselenggarakan antar
provinsi. Antara senior yang simpatik dan tampan dengan junior yang sok tahu
lalu dihukum untuk mencari senior yang paling tampan karena ke-sok tahuannya
itu. Aku memilih Daniel Impeesa, karena memang nyatanya dialah yang tertampan
di antara semua.
“Namanya keren” aku tersenyum. Dia membalas senyumku dengan kerlingan
mata.
Nama yang unik. Impeesa,
mengingatkanku pada dunia ke-pramukaanku tentunya. Nama ambalanku yang diambil
dari sebuah gelar yang diberikan kepada Badon
Powell sang pendiri pandu dunia, karena kegigihannya memberdayakan pemuda
suku pedalaman Amerika kala itu. Impeesa, serigala yang tak pernah tidur.
Daniel, sosok yang begitu istimewa di hatiku setelah itu. Dia
memintaku menjadi istrinya setelah pertemanan kami yang berlangsung cukup lama
dari awal pertemuan kami di acara Jambore nasional waktu itu hingga 5 tahun
berselang. Hatiku berbunga ketika dia memintaku menjadi bagian dari kerajaan
hatinya. Sepertinya dia adalah sosok yang tepat dan di waktu yang tepat.
Persahabatan kami yang telah berjalan lebih dari 5 tahun memberikan keyakinan
yang sangat kuat dengan niatannya untuk menikahiku. Aku bahagia.
Terlebih ketika itu, Daniel tak mempermasalahkan status latar
belakangku yang mungkin tak semua orang bisa menerimanya. Dia dengan senyum
yang menenangkanku mengatakan jika dia
tak ingin menikahi masa lalu, dia hanya ingin mengajakku menapaki masa depan
yang lebih baik. Aku semakin bahagia.
Diawali dengan saling bertukar proposal nikah yang masing-masing
dari kami menceritakan latar belakang, visi misi berkeluarga, pun penerimaan
kami terhadap kekurangan masing-masing. Kuceritakan semua cerita yang aku
punya. Dari kedua orang tuaku yang bercerai, didikan keras bersama mbah kakung
dan mbah uti karena tuntutan ekonomi yang tak bisa dikata cukup, sampai
keberadaanku di kota pahlawan Surabaya, karena
merasa dibuang oleh keluargaku sepeninggal kedua mbahku. Semua kuceritakan.
Jika ada yang kurang berkenan, kakak tak
usah memaksakan. Kalaupun hubungan kita nantinya tak berujung pada pernikahan,
aku ingin kita tetap akan berteman, selamanya. Tulisku di akhir proposal itu.
Segera kukirim melalui e-mail, meski aku sempat ragu apa dia bisa menerima
kondisiku saat itu. Namun semua luruh, ketika dengan lantang dia berkata “Kita
tutup masa lalu, aku tak ingin menikahi masa lalumu, kita akan melangkah
bersama, dan aku berjanji pada adek, aku takkan pernah memberi kesedihan di
hati adek”
Aku berlutut penuh haru. Betapa adil Tuhan padaku, ketika semua
orang membuangku dari kehidupan mereka, Tuhan mengirimkan seseorang untuk
mencitaiku dengan ikhlasnya.
Semua berjalan dengan baik. Kami merancang sebuah keluarga kecil
yang bahagia.
“Adek maunya 3 anak kak, 2 anak laki-laki dan satu anak
perempuan” Sebuah
diskusi kecil yang membahagiakan
waktu itu.
“Nggak ah, dua anak laki-laki saja” Jawabnya tenang sembari
tersenyum manis.
“Kok gitu? Egois ah” Dia hanya mengangguk. “Kasihan bundanya
dong, nggak ada yang batuin di dapur”
“Yang bantuin ayah dan anak-anak dong, bantuin ngehabisin”
Jawabnya terkekeh. Aku semakin manyun. Lalu dia meraih tanganku, menatapku
dengan hangat “Biar bundanya nggak ada yang menyaingi, menjadi wanita
satu-satunya yang tercantik di hati ayah”
Seakan semua kebahagian di dunia tertumpah di hatiku. Aku merasa
menjadi wanita tercantik di dunia. Air mataku menjadi bukti keharuanku yang
luar biasa.
Kami sedang mencoba menjadi arsitek untuk keluarga kecil kami
yang bahagia, membuat maket kehidupan yang akan kami jalani bersama. Melukiskan
sketsanya dengan cantik dan dengan arsiran yang sepertinya akan menjadi nyata.
Kami sedang merancang masa depan yang kami sebut dengan Grand Desain kehidupan.
Namun malang
tak mampu dihadang. Semua mulai berubah ketika aku menolak sebuah ciuman
darinya. Hanya karena sebuah ciuman yang menjadi prinsipku selama ini, membuat
maket kehidupan kami hancur berantakan. Aku terluka.
“Ini belum boleh kak” Tolakku halus sambari menjauhkan bibirnya
yang dekat di wajahku.
“Show me your love” Bisiknya seperti mengiba.
“I will, tapi tidak sekarang sayang. Akan aku tunjukkan lebih
dari sekedar ini” Aku mencoba meyakinkannya. Mengatakan jika semua ini bisa
kami lakukan kapanpun saat waktunya tiba. “Aku ingin mencintaimu dengan cara
yang benar sayang”
Dia memang menerima waktu itu. Namun setelah kejadian itu, aku
merasa semua mulai berubah. Kehangatannya mulai terasa seperti musim hujan.
Mendung dan dingin. Tak ada lagi hari dengan canda dan rayuan. Yang ada hanya
keheningan dan hampa.
“Aku hanya ingin mencintaimu dengan benar kak, tolong bantu aku”
Aku kirimkan sebuah sms untuknya setelah hampir 1 bulan dia tak menghubungiku.
Aku kacau. Bingung dan ketakutan. Seperti kehilangan pijakan. aku tak mampu
berfikir dengan jerni. Ingin saja aku lari memeluknya, memberikan semua yang
dia minta, lalu semua akan baik-baik saja dan dia akan segera menikahiku.
Namun salah, dari sekedar tak mengubungiku 1 minggu, 1 bulan,
berbulan-bulan, lalu hampir satu tahun dia membiarkanku tanpa kepastian. Setiap
aku hubungi melalu ponselnya, selalu saja dialihkan, diputus atau
dinon-aktifkan. Aku mencoba mencarinya melalu teman-temannya, tapi nihil.
Banyak nian alasan meraka. Mulai dari ada proyek di luar kota , sedang sakit dan dirawat di rumah sakit
terbaik, berlibur ke luar negeri atau bahkan tidak tahu-menahu tentang
keberadaan Daniel.
Aku mencoba menerima alasan itu. Toh selama ini kami pun
terpisah jarak. Pekerjaannya sabagai asisten senior sebuah wedding organizer di pulau dewata, Bali membuatnya sangat sibuk. Hanya sekali atau
dua kali dalam satu bulan dia mengunjungiku di kota
pahlawan Surabaya untuk melepaskan
kerinduan. Tapi sekian lama, semakin tak jelas arah ujungnya. Dia seperti
menghilang. Menghilang begitu saja.
Setiap hari seperti sebuah derita untukku. Tersiksa karena
cinta. Apa yang begitu menyiksa dari seorang pecinta di dunia ini? Cinta tak
direstui? Seperti Laila dan Majnun atau Romeo dan Juliet? Paling tidak mereka
saling mencintai, saling tahu jika kekasihnya memberikan cinta yang besar untuk
pasangannya. Tapi aku tersiksa karena cinta yang digantung, yang bahkan aku
sendiri tak tahu, masihkan dia mencintaiku. Ke mana larinya semua cerita indah
kami? Aku lunglai. Bukan lagi sakit dan tersiksa namun hampir mati.
“Are you ok?” Ana memelukku dengan erat. “Menangislah” Katanya.
Aku ingin sekali. Ingin sekali menangis dengan keras hingga
seluruh dunia tahu jika aku sekarat. Tapi tak bisa. Air mataku hanya bisa
menyesaki dadaku yang penuh dengan kesedihan.
“Kami masih bersama kamu Lia, kamu kuat ya”
Ana tak mampu membuatku lebih baik. Mungkin inilah sebuah
akumulasi kekecewaan dari semua cerita hidup yang aku alami. Bukah hanya karena
Daniel, tapi hampir di semua cerita hidupku, kisah seperti inilah yang aku
alami. Ditinggalkan dan dibuang.
Bagaimana bapakku dengan enaknya mengatakan jika aku bukan lagi
tanggung jawabnya ketika aku datang mengiba ke rumahnya untuk meminta uang
pembayaran SPP yang menunggak lebih dari 5 bulan.
“Lahkan enek mbahmu, bapak iki akeh tanggungan. Emange bapak iki
juragan iwak tho, kok njalok nek bapak?” Apa wajar dia berkata seperti itu
untuk anaknya yang tak pernah sekalipun meminta bantuannya sebelum ini? Aku
anaknya, bukan pengemis yang meminta-minta belas kasihan darinya. Aku sakit
hati. Semua terekam kuat di memoriku, membuat rekam jejak yang takkan pernah
terhapus. Dia tak berhak menjadi bapakku.
Atau mamaku yang tak pernah datang atau memberi kabar
keberadaannya setelah kepergiaannya ke pulau kalajengking, Batam. Dia seperti
lupa telah melahirkan seorang putri yang dia tinggalkan tumbuh sendiri, tanpa
kasih sayang seorang ibu yang katanya sepanjang jalan itu. Bahkan mbahku
menggapnya mati. Bukan sadis, tapi nyatanya dia memang seperti tak lagi hidup.
Tak pernah ada kabar berita, bahkan untuk secarik suratpun. Tak pernah ada. Aku
bahkan lupa kapan terakhir kali aku melihatnya. Bagaimana ekspresi terakhirnya
ketika meninggalkanku sendiri, apa dia menangis waktu meninggalkanku? Aku benar-benar
lupa. Dan dengan yakin ku tuliskan statusku di buku induk sekolah sebagai anak
yatim-piatu. Entah siapa yang durhaka dari siapa, mungkin Tuhan lupa menuliskan
di kitab sucinya jika mungkin saja ada orang tua yang durhaka.
Kehidupanku dengan kedua mbahku tidak berarti berlangsung dengan
wajar pula. Tidak. Sama sekali tidak. Aku dididik seperti aku ini bukan
seseorang yang berperasaan. Celaan sepertinya adalah pujian yang biasa
dikatakan setiap saat. Semua pekerjaan benar bagi mereka adalah kurang benar.
Dan pekerjaan yang salah aku lakukan bagi mereka adalah hukuman. Gagang sapu
ijuk, helai sapu lidih, potongan bambu yang biasanya dipakai untuk alas ranjang
kayu yang kami menyebutnya “Galar” atau bahkan kayu bakar adalah alat-alat yang
kerap kali warnai tubuh kecilku. Membuat warna lebam biru dan merah yang hanya
akan hilang setelah 1 minggu. Semua menjadikanku pribadi yang sakit. Anak
manusia yang tumbuh dengan kesakitan dan tekanan luar biasa.
Mungkin mereka menganggapku sebagai kutukan. Hanya seorang yang
menjadi benalu di kehidupan keluargaku. Sepeninggal kedua mbahku, mereka
mengusirku. Mengatakan jika aku bukan bagian dari mereka. Lalu aku mulai
menarik sebuah benang merah dari semua itu, jika aku tak punya siapapun.
Kecuali Daniel.
Aku terlanjur jatuh cinta dengan sangat kepada Daniel. Merasakan
cinta yang besar darinya. Hidupku seperti bergantung dengan kehadirannya. Lalu
ketika dia menghilang, aku seperti kehilangan hidupku. Aku seperti mayat hidup.
![](file:///C:/DOCUME~1/admin/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif)
Hari ini, tepat dua tahun setelah Daniel meninggalkanku. Tepat
dua tahun pula aku menemukan cinta baru yang luar biasa, lebih dari cintaku
kepada Daniel. Aku sendiri ragu, apa benar aku dulu mencintai Daniel? Apa bukan
sekedar penyejuk saat aku butuh seseorang untuk mengatakan jika dia mencintaiku?
Kini aku tak perduli Daniel pernah ada atau tidak.
“I love You bunda” Kecupnya di keningku. Membuat malam ini
semakin sepesial. Semua cerita suram dua tahun lalu hilang dengan kehadirannya.
“Maaf ya, papa terlambat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar