Perahu Kertas
Ana berjalan cepat menelusuri lorang rumah sakit yang panjang.
Kantong bawaannya terayun ke kiri dan kanan mengiringi hentakan kakinya.
Pandangannya lurus menatap ke depan seakan tak ada tujuan lain selain arah
tatapannya. Dia memang sedang tergesa. Sudah dua hari dia tak menemui
seseorang. Seseorang yang harus dia jaga. Seseorang yang begitu membutuhkan
kehadirannya.
Lorong rumah sakit ini selalu mengingatkan Ana pada lorong
panjang di sebuah sekolah menengah pertama sederhana, yang riuh dengan tawa
gadis-gadis remaja seusianya waktu itu. Tawa penuh semangat yang mengalirkan
kegembiraan masa muda yang ceria, tawa yang mengalirkan optimisme untuk menjadi
wanita-wanita dewasa dengan pencapaian yang gemilang.
“Kamu tahu Na, besok aku akan membangun restoran bernuansa pedesaan
di bantaran Kali Ciliwung. Aku akan membuat Kali Ciliwung menjadi obyek wisata
kelas dunia dengan sungainya yang bersih, seperti Venesia di Italia, cantik
sekali.” lalu sang pemilik cita-cita itu
tertawa lepas seperti dia telah berhasil membuat Kali Ciliwung menjadi seperti
harapannya, menjadi Venesia yang romantis meski Ana sendiri yakin bahwa pemilik
cita-cita itu tak pernah tahu secara nyata kondisi bantaran Kali Ciliwung
maupun Venesia. “Aku kasih nama PACIRANAN
City .”
“Emang kamu tahu Kali Ciliwung?” Ana bertanya polos.
Yang ditanya hanya nyengir memamerkan gigi-gigi kecilnya dan
berkata, “Itu bisa diatur”
“Hmm, sok tahu” lalu mereka berdua tertawa dengan riangnya.
Ah teman, sejak dulu aku selalu suka semangatmu. Kamu orang
yang luar biasa. Karena itu, hari ini berjuanglah.
Dadanya sesak. Dia mendengar bisikan hatinya seperti suara yang meraung,
terdengar di setiap sudut rumah sakit, dan Ana tahu jika dia harus lebih
mempercepat langkahnya.
“Mbak Ana..!” suara dari arah belakang membuat Ana berhenti dan
berpaling. Seorang wanita berjilbab dengan warna baby pink dan jas putih
berkibar menghampirinya sembari berlari kecil. “Maaf tadi saya dari luar.”
Ana menyambut uluran tangan dokter Niken dan membalas senyumnya.
“Kata staf ibu, tadi ibu sedang ada kepentingan, karena itu saya langsung saja
ke sini.”
“Iya Mbak, tadi ada
pasien yang harus saya antar ke rumah sakit rujukan, mari saya temani,”
Setelah itu perjalanan dilanjutkan dengan obrolan ringan antara
keluarga pasien dengan dokter yang menangani. Dokter Niken belum berani
memberikan kesimpulan atas hipotesis analisisnya mangenai kondisi pasien saat
ini. Masih ada sesuatu yang dia ragu untuk mengungkapkannya pada Ana. Dokter
Niken tahu jika sesuatu itu mungkin saja akan membuat Ana sulit untuk menerimanya.
Karena itu dokter Niken memilih mengatakan hal-hal wajar tentang diri
pasiennya.
“Yang dia butuhkan saat ini adalah dukungan Mbak,” Ana
tersenyum, mencoba memperlihatkan ketegaran di mata dokter Niken.
Dokter Niken adalah dokter yang dipercaya Ana untuk menjaga
sahabatnya di rumah sakit ini. Sejak awal dokter Niken lah yang menanganinya,
dan Ana tak ingin dia digantikan dengan dokter lain.
Melihat dokter Niken, maka kesan pertama yang terlihat dari
dokter Niken adalah dia wanita yang cerdas. Tentu, dia adalah wanita yang
cerdas. Berhasil meraih gelar dokter muda di usia 21 tahun dan di usia yang baru menginjak 26
tahun dia sudah menjadi dokter spesialis di bidangnya.
Wanita yang tergolong cantik untuk ukuran masyarakat Indonesia .
Tinggi semampai, berkulit putih bersih dan kemerahan serta mewarisi garis wajah
khas keturunan Ras Kaukasoit yang eksotik dan menawan, berpadu dengan keteduhan
dan feminisme khas pribumi Keraton Jogjakarta yang kalem dan anggun. Cantik dan
menarik.
Namun lebih dari itu, dia adalah wanita yang sabar, bisa
terlihat dari garis wajahnya yang teduh dan menenangkan. Karena itu Ana
memasrahkan kesembuhan sahabatnya itu pada dokter Niken. Dia yakin dokter Niken
bisa membantu sahabatnya untuk kembali menjadi manusia optimis seperti yang Ana
kenal selama ini.
Perjalanan menuju ruang Paviliun Melati I begitu jauh dan lama.
Dari pintu masuk rumah sakit harus melewati beberapa lorong panjang yang begitu
memiriskan. Suara-suara histeris kerap
kali terdengar di sepanjang ruangan yang mereka lewati. Tak sedikit
pasien yang meronta mencoba berlari meminta pertolongan ataupun berteriak hanya
untuk sekedar bercanda dengan perawat mereka. Semua membuat Ana miris. Merasa
bersalah. Semua akan segera membaik teman.
Hati kecilnya meyakinkan.
“Dokter tolong...,” seperti lolongan, suara itu terlontar dari
seoarang lelaki tua berpawakan kurus dan kacau. Dia berlari dengan cepat ke
arah mereka dan dengan cepat pula lelaki itu bersembunyi di balik tubuh dokter
Niken. Andai dokter Niken tak segera memperbaiki pijakan kakinya di bumi,
mungkin dia akan terjatuh dibuatnya. Lelaki itu seperti ketakutan.
“Kenapa ini Pak?” tanya dokter Niken kalem.
“Aku emoh karo dokter itu Dok, wong iku rusak”
kata lelaki tua itu terengah-engah sembari menunjuk-nunjuk ke arah beberapa
orang yang berlari di belakangnya.
“Mari Pak, Dokternya mau lihat pasien yang lain” perawat yang
mengejarnya mencoba bersikap lebih ramah. Mungkin takut pasiennya akan semakin
histeris.
“emoh…!” jawab lelaki itu ketus.
“Kenapa Bapaknya suster?”
“Bapak ada jadwal terapi Dok, tapi dia menolak.”
“Di mana?”
“Di ruang Fisioterapy”
“Biar saya yang antar ke sana ”
ucap dokter Niken kalem, lalu mempersilahkan perawat untuk meninggalkan lelaki
tua yang ketakutan itu bersama kami. “ Mbak Ana maaf, saya tinggal untuk antar
bapak ini dulu ya, Mbak Ana lanjut jalan saja dulu, nanti saya menyusul,” Ana
mengangguk mengerti lalu mempersilahkan dokter Niken. Tampaknya bapak itu hanya
bisa ditenangkan oleh dokter Niken. Mungkin dia terlalu takut dengan terapi yang
akan dia jalani.
Ana melanjutkan perjalannanya sendiri. Menyusuri satu belokan
lagi, dan dia akan sampai di ruang perawatan sahabat hebatnya itu.
“Hay, kamu Ana Fauziyah kan ?” seorang gadis
kecil seusianya menyapa dengan wajah berbalut senyum yang manis. Pipinya yang cubby membuat mata bolanya membantuk
sudut kecil yang rapat. Ana mengangguk dan menyambut uluran tangan gadis itu.
“Kita dulu pernah kenalan waktu ada perkemahan di Lapangan
Mbabrek, kamu ingat nggak? Aku dulu yang duduk di belakang kamu” gadis itu
bercerita dengan penuh semangat. Pipinya yang tembem seperti menari-nari
mengiringi gerak bibir dan intonasi ceritanya. Ana menyimaknya dengan penuh
antusias, seantusias pembawa cerita.
“Oh ya, kamu masuk kelas apa?” dia mengakhiri ceritanya dengan
pertanyaan.
Ana tergagap. Dia terlalu asik melihat pipi gadis di depannya
yang seperti menari itu. “Aku kelas I-C, kamu?”
“Wah sama, aku juga. Kamu sudah dapat bangku?” Ana belum sempat
menjawab, gadis itu keburu menarik tangannya lalu mengajaknya berlari ke arah
kelas baru mereka.
Perkenalan pertama kali mereka yang memberi kesan kepada Ana
tentang sebuah semangat dari seorang gadis kecil seusianya. Begitu ceria dan
tanpa beban.
Ana merasakan pelupuk matanya memanas, susah payah dia menahan
air matanya agar tak tumpah di depan sahabatnya. Sesak begitu menggelayuti
hatinya. Langkahnya seketika menjadi berat. Dia merasa harus menghentikan
langkahnya sebelum dia limbung dan terjatuh. Dia sandarkan tubuhnya di sebuah
tiang penyanggah di dekat taman. Tinggal bebarapa ruangan lagi, dan dia akan
sampai di ruang perawatan sahabatnya. Tapi setiap dia mendekati ruangan itu,
dia selalu tak bisa mengontrol perasaan hatinya. Semua terasa begitu berat.
Namun dia tahu, dia harus kuat. Untuk sahabatnya.
“Lihatlah Na, perahuku berjalan lebih cepat dari perahumu”
matanya berbinar menyaksikan perahu
kertas mereka saling berlomba menantang riak-riak ombak laut utara pulau jawa.
Desa mereka yang terletak di pesisir pantai utara Pulau Jawa membuat laut
bukanlah pemandangan yang asing. Sebuah dermaga sederhana dibangun secara
swadaya oleh warga sekitar untuk memudahkan kapal-kapal nelayan bersandar di
tepiannya.
Mereka sering menghabiskan waktu bersama di dermaga itu. Hanya
sekedar ingin menyaksikan semburat jingga di ufuk timur, ataupun hanya untuk
berbagi cerita. Tentang apapun.
“Kamu sudah lihat Kali Ciliwung dong Na?”
Ana mengangguk. “Benar katamu dulu, kita perlu meubah wajah Kali
Ciliwung” Jawab Ana antusias. Kesibukannya sebagai aktivis lingkungan di sebuah
Universitas Negeri di Jakarta membuat dia tahu bagaimana wajah Kali Ciliwung
dengan baik saat itu.
“Kita? Ah, Apa aku bisa Na?” Ana melirik sahabatnya. Ada sebuah nelangsa di
matanya. Keadaan memaksanya untuk mengubur cita-citanya sebagai seorang
pengacara besar yang siap memperjuangkan keadilan masyarakatnya. sebuah
cita-cita besar tentunya.
“Kenapa nggak bisa?”
“Aku tak memiliki banyak kesempatan” dia menghela nafas berat,
Seberat hatinya yang dulu harus rela melepas beasiswa yang dengan susah payah
telah diraihnya hanya karena keluarga yang merawatnya menyebutnya tak tahu malu, menyebutnya hanya
bisa menjadi benalu untuk keluarga itu, dan diapun memilih untuk tak lagi
melanjutkan mimpinya, memilih untuk tak mau lagi disebut sebagai beban untuk
keluarga yang telah merawatnya.
Setitik bening air mata terselip di sudut mata sahabatnya itu.
Ana menggenggam tangannya. Mencoba memberi tahu jika kesempatan selalu ada.
“Aku mungkin tak memiliki banyak kesempatan untuk meubah Kali
Ciliwung, tapi aku punya banyak kesempatan untuk meubah hidupku ini menjadi
hidup dengan sistem hidup yang lebih baik, benarkan Na?” Ana hampir saja
melonjak. Semangat gadis itu selalu membuatnya terkaget. Dalam satu tarikan
nafas saja dia berhasil memulihkan kembali hatinya yang lemah. Siapa yang bisa membunuh langkahmu kawan,
Kau selalu saja memiliki tenaga lebih untuk membuat semuanya seperti mungkin
dan akan sangat mungkin terjadi.
“Lihat saja perahuku, dia seperti berlari. Apa menurutmu ini
bukan suatu pertanda Na” dia tertawa lepas. Selepas pikirannya yang terbang
jauh melapaui semua kemungkinan. Tawanya yang riang seperti tak menyisakan
sedikitpun kesedihan di hatinya, yang Ana sendiri tahu jika sahabatnya itu
sedang menghibur dirinya yang terluka.
Ana tumpahkan air matanya sebanyak yang dia ingin keluarkan.
Secepatnya dia harus segera memulihkan hatinya, mengisinya dengan kekuatan dan
optimisme untuk bisa dia salurkan kepada sahabatnya itu. Ana tak ingin
sahabatnya melihat dia lemah, karena Ana tahu sahabatnya pun sedang berjuang,
berjuang dengan semangat yang luar biasa.
“Mbak Ana, sedang apa?” Ana terkaget. Dokter Niken rupanya. Dia
tangkap seulas senyum yang menguatkan dari dokter Niken. “Mari Mbak, dia sedang
menunggu Mbak,”
Dokter Niken menepuk pundak Ana sebagai tanda penguatan. Ana sedikit
kikuk. Dia tahu pasti dokter Niken melihat air matanya yang leleh tak bisa
tertahan.
“Dia pasti kuat, dia punya sahabat-sahabat yang hebat seperti
Mbak dan kawan-kawan”
Sebuah ruangan di sudut kavling Paviliun Melati I. Pintunya
berwarna abu-abu pucat dengan cat tembok berwarna putih yang juga pucat. Hanya
ada satu ranjang di sana ,
sebuah meja, lemari kecil pun kursi yang juga kecil, sebuah lampu meja serta
beberapa lembar kertas yang berserakan. Jendelanya yang menggantung tepat di
atas sisi ranjang sengaja dibiarkan terbuka lebar. Ana yakin, pemandangan di
luar sana hanya
menampakkan taman kecil rumah sakit dan beberapa aktivitas penghuninya. Namun
di sisi itulah tempat favirot sahabatnya, karena itu Ana tak membiarkan
siapapun meubah letak ranjang, walau dia tahu akan sangat silau jika sore hari
tiba, karena letaknya yang menghadap ke barat. Ana melangkah pelan menghampiri
sahabatnya, pemilik pipi cubby yang
menari itu.
Kata-kata selamat pagi atau sekedar salam seperti tak mampu
keluar. Lidah Ana menjadi kaku ketika dia lihat pemandangan tak biasa dari
pemilik pipi cubby itu. Sekuat hati
Ana mencoba menahan gejolak batin yang menyesak. Tak sanggup rasanya Ana
melihat pemilik pipi menari itu menjadi sedemikian mirisnya. Tak ada lagi pipi cubby yang menari. Hanya ada rahang
kecil yang memperlihatkan tulang pipinya yang menonjol. Matanya yang bulat
terlihat sayu dan menghitam seperti terlalu banyak menangis. Ketika Ana mencoba
menyentuh tangannya, Ana seperti tak menemukan kehidupan. Seperti tak ada darah
yang mengalir, terlalu dingin untuk manusia yang masih bernafas. Ana mencoba
bersuara meski dengan berat, meski dengan diiringi sesak yang bagitu hebat,
“Assalamualaikum, Lia”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar