Kamis, 16 Februari 2012

09 MEI (BAB VI Di NovelQ)


09 Mei

Semilir angin lembut Tasikmalaya menemani aktifitas kami pagi ini. Kutatap pemilik mata elang itu dari balik cermin yang terpantul ke arahku. Mata itu berkilatan seperti lesatan anak panah yang terlontar dari busurnya. Tajam, tegas, dan penuh percaya diri. Matamu mengalihkan hidupku dari apapun di dunia ini sayang.
Betapa masih jelas terpatri di ingatanku bagaimana dia datang dengan cara yang ajaib dua tahun yang lalu. Seumpama Pangeran berkuda putih dengan sekuntum mawar merah yang datang menyelamatkan sang putri dari kematian mengenaskan dengan kecupannya. Dogeng Putri Salju yang dulu selalu aku hayalkan akan terjadi di hidupku nyatanya benar-benar terjadi. Menghadirkan Pengeran versi terindah dalam hidupku. Lihatlah Pangeranku itu, sedang asyiknya merapikan dasi warna biru muda kesayangnya.
“Bunda, bantuin Papa ngerapiin dasi ini dong” aku tergagap. Takut ketahuan kalau aku telah mencuri-curi pandang.
“Rapi banget sayang, ada acara apa di kantor?” tanyaku sembari merapikan dasi biru suamiku. Dia tak pernah bisa melakukannya dengan baik.
Ada kunjungan Dinas dari Menteri Pendidikan Papa mesti mendampingi, mungkin sampai malam Nda” jawabnya dengan tangan yang memeluk erat pinggangku.
“Duuuh, sayang ya, padahal Bunda mau mengadakan pesta kecil untuk menyambut tamu sepesial” ada kado istimewa untuk pernikahan kita sayang. Tetaplah di rumah mendampingiku.
“Siapa sayang?” tanyanya.
“Ah, Papa juga lagi sibuk. Enggak bakal bisa datang menyambut juga kan, ngapain Bunda cerita, tapi yang pasti dia, seseorang yang istimewa ini, akan sangat kecewa dengan Papa”
“Siapa sih Nda? Kalau memang harus ya nanti Papa usahakan,” ucapnya dengan mimik muka serius. Aku terdiam lama memainkan emosinya.
“Coba tebak?”
“Mama?” jawabnya polos. Aku menggelang mantab.
“Emm, atau jangan-jangan temen-temen Five-in kamu ya?” suaranya gugup.
“No,” aku kembali menggeleng mantap.
“Duh, siapa ya? Nyerah deh” ucapnya sembari mengecup keningku.
“Our Baby”
Ugi melonjak. Matanya berbinar meski tetap seperti tak percaya. Dia meraba perutku, mencoba merasakan kehadiran makhluk kecil yang akan meramaikan kehidupan bahagia kami. Aku mengangguk meyakinkannya.
I love you so much” dia memelukku erat. Air mata yang menetes menjadi ekpresi kebahagiaannya. Kami berdua hanyut dalam keharuan. Terimakasih Tuhan, telah semakin Engkau perlengkap kebahagiaan kami.
“Bunda akan mengadakan apa nanti? Biar Papa cancel semua jadwal hari ini untuk bisa menemani kalian sebanyak mungkin” suaranya terdengar antusias sekali. Aku tertawa geli. Ugi melotot, tentu saja dia tahu jika acara penyambutan tadi hanya sekenario untuk menyampaikan berita gembira ini.
“Dasar” pekiknya sembari mencubit hidungku. “Tapi Papa tetap mau menemani Bunda dan bayi kita seharian ini” dia membuka kembali simpul dasinya.
“Lho? Kok? Kan Bunda tadi cuma godain Papa”
“Biar ah, Papa lagi kepingin nemenin istri tercinta”
“Nanti nyesel lho, enggak bisa ketemu sama Pak Menteri?”
Dia tertawah renyah. “Yang akan membuat Papa lebih menyesal adalah membiarkan anak-istriku merana kesepian” ucapnya di sela-sela tawanya yang menggema. Aku tahu itu buka sekedar lelucon sayang, dan kami percaya kamu akan selalu ada di samping kami. Selamanya.
Semuanya begitu indah. Cerita hidupku seakan berbalik arah. Seperti titik yang saling bersebrangan. Hatiku melambung di puncak kebahagiaan. Bagaimana tidak, aku punya cinta yang begitu besar dari Ugi, pun keluarganya yang mau menerimaku apa adanya. Juga dengan teman-temanku yang luar biasa, yang selalu mendukung langkahku, apapun yang aku lakukan. Termasuk mendukungku untuk segera mengulang pernikahan kami dengen lebih sah di mata agama, maupun dalam catatan resmi Negara.

“Ana tadi telphon Pa, Dia meminta aku pulang” aku mencoba membuka percakapan di sela-sela waktu makan siang kami. Kami selalu menyempatkan waktu untuk sekedar makan siang di tengah rutinitas dan kesibukan kami masing-masing. Ugi yang sibuk dengan unit pelayannya sebisa mungkin untuk menyempatkan waktunya, bagitu pula aku dengan bisnis fashionku.
“Nda kapan rencana pulang bulan ini?” tanyanya sembari menikmati ikan tongkol asap kegemarannya.
“Mungkin besok atau lusa”
“Oh, ya udah tho, berarti malam ini Papa bantuin nda kemas-kemas. Nda udah siapin laporan sebulan kemaren kan?” aku mengangguk. Sebenarnya ada hal yang lebih besar yang ingin aku utarakan, tapi hanya berputar-putar saja di antara sendokan sayur bayam dan sambal terasiku.
“Emm, pa. Nda mau ngomong sesuatu”
Sok atuh, naon nu bade dicarioskeun?[1]” jawabnya, “Teu kegning disimpen bae Bunda sayang, engke bilih janteun bisul lho[2]
“Ana minta aku mengajak Papa juga” Ugi terbatuk. Tentu itu bukan sesautu yang ingin didengarkannya siang ini. Tapi tetap harus diomongkan. “Mereka ingin mengenal Papa”
“Bunda yakin akan mengajak Papa besok?” aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tentu ingin memperkenalkan suamiku ini pada teman-temanku. Sudah 1 tahun lebih pernikahan kami, tapi mereka tak mengetahui apapun tentang itu. Kami memang menikah secara siri. Hanya dihadiri keluarga dan beberapa kerabat dari Ugi saja.

“Papa sibuk Bunda” jawabnya dingin tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop. Setelah percakapan makan siang yang tak menemukan kesepakatan itu, kami terus saja berdebat.
Aku mulai terisak. Mataku memanas sembari menatap miris ke arah suamiku. “Meraka ingin yang terbaik untuk kita Pa,” tangisku mulai pecah. Suaraku terdengar parau.
Ugi mulai menatapku yang kuyuh dengan air mata berlinangan. Aku tahu jika dia tak pernah bisa melihatku menangis, bahkan sampai terisak seperti ini. “Jika bukan karena aku, lakukanlah demi anak kita Pa, aku tak ingin dia lahir tanpa status kewarganegaraan yang diragukan, aku tak ingin anakku mengalami kesulitan yang sama seperti yang pernah aku alami, malu karena tidak memiliki status hukum yang jelas hanya karena orang tuaku tak pernah mau direpotkan dengan pengurusannya” nafasku tersenggal-senggal. Aku berbicara di sela tangisanku yang juga deras. “Bunda hanya ingin memberi yang terbaik untuk anak kita Pa, tidak lebih”
Ugi meraihku. memelukku erat. “Bunda tadi ngomong apa? Papa enggak bisa dengar, besok lagi kalau ngomong jangan sambil nangis, Bundakan tahu kalau Papa tak pernah bisa melihat Bunda seperti ini” aku tahu saat ini Ugipun terisak. Air matanya aku rasakan mengalir di pundakku. “Apapun yang terbaik untuk Bunda, akan Papa berikan. Termasuk pernikahan terindah yang takkan pernah bisa dibayangkan siapapun”
Tak butuh waktu lama, malam itu juga aku memberitahukan berita gembira ini kepada teman-temanku. Ugi telah setuju untuk melegalkan pernikahan kami meski dia harus siap dengan resikonya, melepas pekerjaan yang selama ini dia jalani karena terikat kontrak kerja yang menurutku terlalu mengada-ada. Pelanggaran HAM kataku waktu itu kepada Ugi.
“Jadi kapan rencananya Lia?” kali ini Icha yang berkomentar. Suara di sebrang sana gaduh sekali sepertinya mereka sedang berebut untuk saling berbicara.
“Rencananya tanggal 09 Mei besok, kalian mau kan bantu aku untuk nyiapain keperluan nanti?”
“Pasti dong, mau konsep pernikahan apa? Apa perlu kami minta bantuan sama Daniel?” lalu suara di sebrang sana semakin gaduh lagi. Sepertinya semua mencoba memprotes Icha dengan ucapannya barusan.
“Ide bagus, Aku suka, tolong undang Daniel juga ya di pestaku nanti, bagaimanapun kami dulu pernah berteman baik” semua teratawa. Kami bahagia. Mereka sahabat terbaikku, aku takkan pernah bosan mengatakannya, kalian sahabat terbaikku.
“Lia, aku sudah ke rumah bapak kamu di Tuban. Beliau siap kapanpun kamu memintanya untuk datang” tak bisa aku ucapkan keharuan ini. Entah kenapa aku merasa lega mendengar kabar yang Ana sampaikan. Aku merasa jika itu adalah kabar baik untukku. Ana benar. Bagaimanapun anak perempuan tetap butuh bapaknya untuk menuntunnya ke altar suci pernikahan yang agung. Aku terharu dengan teramat sangat. Terimakasih Ana.
Tak terhitung batapa besar kebahagiaan yang aku rasa. Semua begitu sempurna teratur dengan indahnya. Tak kusangka perjuanganku selama ini untuk membujuk Ugi meresmikan pernikahan kami segera terwujud. Betapa terasa sempurna pernikahan ini dengan status kami yang akan legal. Tak perlu bersembunyi dari siapapun, tak usah menetupi dari apapun. Semua berhak tahu atas kebahagiaan kami. Apa lagi yang kurang Tuhan, sungguh tak ada.
“Bunda bahagia?”    
“Bunda bahagia sekali sayang, Papa?”
“Kebahagian Bunda segalanya buat Papa” aku tersanjung. Kupeluk tubuh suamiku dengan erat.
Kami mulai disibukkan dengan segala persiapan pernikahan kami. Mulai mempersiapkan beberapa dokumen yang kami butuhkan hingga beberapa pernik yang mama rasa harus ada di pernikahan kami nanti. Selain aku, mamalah orang yang paling bahagia dengan kabar pernikahan ini. Beliau bahkan sampai menangis menciumi pipi putra kesayangannya itu. “Akhirnya ya, Aa’ dari dulu harusnya ya A’ “ ucap beliau.
Sejak rencana pernikahan ini kami beritahukan kepada beliau, mama langsung saja repot mempersiapkan semua pernik yang mungkin akan kami butuhkan. Sebenarnya kami tak ingin beliau serepot ini, tapi bahkan Ugi pun tak bisa membendung keseriusan mama dalam mempersiapkan semuanya. Tak ketinggalan Papa yang tak mau kalah. Laki-laki pendiam yang selalu bersahaja itu ternyata juga bisa merasa gugup seperti itu. Merasa seperti akan menikahkan putranya untuk pertama kali padahal sebelumnya beliau telah menikahkan dua putra-putrinya. Kami sampai tertawa melihat beliau harus berulang kali salah menyebut nama putra-putrinya karena saking gugupnya. Dan setelah merasa sedikit tenang, beliau memulukku hangat sembari memenjatkan selaksa do’a yang membuat aku menangis di dekapannya. “Barakallahu lakuma, wabaroka a’laikuma, Wa Jama’ah bainakuma fl khoir[3]
Aku meminta keluarga Ugi mendampingiku saat prosesi pernikahan nanti. Mereka menyanggupinya dan seluruh keluargapun ikut sibuk mempersiapkan semua keperluan kami saat akad nikah yang akan di gelar di Lamongan, desa kelahiranku nanti. Bahkan suami Milla, jauh-jauh pulang dari Makassar untuk turut mendampingku, pun dengan istri A’ Denis, kakak Ugi yang rela meninggalkan rutinitasnya di sebuah rumah sakit daerah sebagai seorang bidan.
Di tengah mereka, Aku seperti memiliki keluarga yang lengkap, selengkap kebahagiaan yang aku rasa, kebahagiaan memiliki orang tua, kakak, kakak ipar, adik, adik ipar serta ponakan yang lucu. Ah, bahagianya. Benar-benar bahagia. Tak ada kata lain selain bahagia. Syukurku dalam doa pada-Mu.

9 Mei 2011.
Malam terasa panjang. Aku seperti saja tidur begitu lama. Tubuhku terasa melayang seakan tak memiliki tulang. Ku terhuyung bangun dari ranjangku. Melihat sekeliling yang mulai silau. Sepertinya aku telah melawati beberapa hari yang panjang dalam tidurku. Aku linglung dengan beberapa memori yang terserakkan dipikiranku. Seingatku, aku sedang bersiap untuk keberangkatanku ke Lamongan sore kemarin. Kami bahkan telah duduk di gerbong kereta api yang yang akan mengantarkan kami ke sana. Kami masih sempat bercanda salama di dalam gerbong, hingga aku terlelap dan tak tahu lagi apa yang terjadi.
Pandangku tertujuh pada beberapa kopor dan parcel hantaran yang tertata berjejer di sudut kamar. Barang-barang yang kami persiapkan untuk acara nanti. Nanti? Seketika kesadaranku terurai. Satu persatu peristiwa malam sebelumnya teringat. Bukankah sebelumnya kami sibuk memepersiapkan sebuah peristiwa yang akan begitu penting di hidupku. Bukankah harusnya kami sudah berada di dalam kereta yang akan berangkan ke Lamongan? Apa mungkin semalam aku hanya bermimpi jika aku sudah berangkat ke Lamongan?.
Aku melonjak dari tempat tidur. Mencari-cari sosok suamiku. Tapi tidak ada siapapun di sampingku. Mungkin dia sudah terbangun sebelum aku. Bagaimana aku bisa seceroboh ini dan bagaimana juga Ugi bisa sesantai ini membiarkan aku tertidur sampai begitu lama. “sayang..?” aku mulai turun untuk membangunkan yang lain. Mungkin merekapun terlalu bersemangat menyiapkkan keberangkatan kami ke Lamongan hingga melupakanku yang masih tertidur di kamar. Aku melangkah ke kamar tamu, kosong. Ke dapur, pun kosong. Rumah menjadi terlau sepi untuk dihuni 9 orang dewasa dan satu bayi berumur 10 bulan. Ke mana mereka? Pikirku.
Aku seperti orang bodoh yang tak tahu apa yang aku cari, mondar-mandir dari satu ruang ke ruang yang lain dari lantai satu naik ke lantai dua dan sebaliknya. Rumah ini tentu tak terlalu besar untuk tempat bersembunyi yang bagus, hanya ada 4 kamar di dua lantainya. 2 kamar mandi, ruang  tamu, ruang tengah, dapur dan halam belakang yang tak terlalu luas. Tapi semua nihil. Tak ada satupun suara yang terdengar kecuali teriakanku yang memanggil mereka satu persatu.
Ayolah Pa, ini enggak lucu” aku mulai gelisah. Ini lelucon yang keterlaluan. Aku mulai tak suka permainan ini. Awas jika satu saja diantara meraka aku temukan. Akan aku marahi habis-habisan.
Hampir satu jam aku berkutat dengan sudut demi sudut rumahku. Aku kebingungan dan hampir menangis karena putus asa, aku tak lagi sanggup berfikir jika ini lelucon. Pasti ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan hanya dengan meminta maaf Pa.
Aku sudah tak bisa berfikir lagi. Aku kembali ke kamarku dangan berlari, sudah lebih dari 13 kali aku keluar masuk ke ruangan ini hanya untuk memastikan jika mereka semua mengerjaiku. Air mataku benar-benar tak bisa ditahan. Aku menangis sejadinya, berharap mereka kasihan, lalu muncul dan berkata “surprise….”
Kluing, kluing
Handphoneku berbunyi. ID yang terlihat di sana ANTUNK
“Assalamualaikum, Hallo, Lia, kamu ada di mana?” nada suaranya panik.
“Walaukum salam Na, aku masih di Tasikmalaya” tangisku semakin menjadi.
“Lho? Kenapa? Kok bisa? Semalam kamu bilang sudah di stasiun, terus pagi ini sudah ada di Lamongan? Ada apa lia?” Gaduh sekali di belakang Ana. Mungkin acara sudah siap digelar.
“Aku masih di Tasikmalaya, aku enggak tahu kenapa aku masih disini, A’ Ugi juga udah enggak ada, apa dia sudah di sana?” tanyaku benar-benar seperti orang bodoh. Ah, mungkin saja. Semua kemungkinan ada, termasuk kemungkina jika Ugi dan keluarganya melupakan aku yang masih terlelap di rumah karena terlalu bersemangat.
“Enggak ada, belum ada yang datang dari Tasikmalaya. Pak Hamim bilang nunggu kalian dari jam 2 sampai pagi ini tapi belum datang juga. Ada apa sebenarnya?”
Ana mendapatiku tersungkur di sudut kamar. Aku benar-benar memprihatinkan. Kuyuh dan lemas tak berdaya. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, apa maksud Ugi memperlakukan aku seperti ini? Jika memang dia tak menghendaki pernikahan ini terjadi harusnya dia tak usah memaksakan semuanya. Aku lunglai.
Ana memelukku erat, sangat erat. Aku hanya bisa merasakan sakit di lenganku namun tak mampu lagi meminta Ana melepaskan pelukannya. Aku tak mampu lagi menangis, semua begitu kelam aku rasa. Mataku terasa kering, dadaku sesak dan terasa penuh dengan pertanyaan yang belum aku tahu jawabannya.
Malam itu juga Ana membawaku pulang ke Surabaya. Dia tak lagi bertanya setelah semua pertanyaannya tak ada yang mampu aku jawab. Aku tak lagi seperti mayat hidup. Tapi aku sudah benar-benar mati. Seperti tak bernyawa dan dingin.



[1] “Silahkan, apa yang mau diomongkan?”
[2] “Jangan disimpan saja bunda, nanti jadi bisul lho”
[3] Doa untuk pengantin 

Rabu, 15 Februari 2012

TENTANG DIA (BAB VI di NovelQ)


Tentang Dia

Namanya Mochammad Lugina. Seseorang yang hadir secara tiba-tiba dalam perjalan melupakan cintaku bersama Daniel, cinta yang pernah membuatku terluka dengan sangat.
 Tak ada yang benar-benar istimewa darinya. Seperti jejaka Sunda pada umumnya, dia memiliki kulit kuning langsat yang halus. Wajahnya bulat dengan pipi merona seperti bayi. Akan terlihat lucu sekali ketika dia tertawa. Matanya yang sedikit sipit akan membentuk bulan sabit dengan pipinya yang bulat memerah. Bibirnya ranum seperti seorang gadis, pertanda dia tak suka merokok. Matanya tak terlalu lebar, Cenderung sipit malah namun begitu dia memiliki mata yang berkharisma. Pandangannya tajam penuh perhatian, namun menenangkan, mata yang seolah-olah berkata, kamu akan aman bersamaku.
Anak kedua dari 4 bersaudara. Semua saudaranya laki-laki, kecuali adiknya yang ketiga. Sebuah susunan kakak beradik yang unik. Aku sering bilang pada Ugi jika aku selalu iri dengan Milla, adik perempuannya. Akan sangat merasa aman di antara para jagoan yang siap melindunginya. Yang aku sendiri tak pernah merasa dilindungi siapapun sebelum aku memiliki Ugi. Di antara mereka berempat, Ugi dan adik bungsunyalah yang belum menikah. Milla bahkan sudah memiliki seorang putra yang sangat lucu berusia 10 bulan, Rizky namanya.
Dia bekerja di salah satu unit pelayanan masyarakat di bidang kesejahteraan keluarga. Kepanjangan tangan dari dinas sosial kota Tasikmalaya. Tugasnya memberikan penyuluhan tentang bagaimana menjadi keluarga yang sejahtera secara ekonomi maupun sosial. Basicnya sebagai mantan aktivis sebuah LSM kemasyarakatan memudahkan tugasnya menyelami berbagai masalah sosial yang ada di masayarakat.
Tak ada yang benar-benar istimewa darinya, namun cintanyalah yang membuatnya begitu istimewa. Bagiku, mencintainya, seperti memiliki semua yang ada dalam ramuan ajaib bernama cinta. Ada tawa, sedih, senang, duka, kebersamaan, kecemburuan dan apapun yang ada dalam kehidupan. Aku memiliki kisah cinta yang sempurna dengannya. Kami memiliki kisah cinta yang wajar sebagaimana harusnya meski kadang penuh kejutan.

“Sudahlah nda, kayak anak kecil ah” satu kisah tentang bagaimana besarnya cemburuku padanya. Aku cemberut. Terlanjur termakan curiga. “Papa belajar jujur sama Nda” aku tetap tak menjawab. Memalingkan muka menatap ke arah luar jendela peraduan kami.
“Papa yang ganjen” ucapku terbawa emosi. Aku selalu lepas kontrol untuk urusan menangani emosi seperti ini.
“Aduh Nda..., Papa nggak pernah bermaksud seperti itu. Kak Erwin yang memperkenalkanya pada Papa” sekarang dia mencoba mengkambing hitamkan sahabatnya yang sudah dia anggap seperti kakak itu. Mana ada persahabatan seperti itu, mencoba memakankan teman. Aku menggerutu sendiri dalam hati.
“Tapi Papa mau saja menerima perjodohan terselubung itu kan?” tanyaku semakin kalut.
“Apa Papa bisa menolak kalau Kak Erwin yang memperkenalkannya Nda, Bunda fahami posisi Papa dong, Papa nggak sampai hati sama Kak Erwin kalau harus menolak”
“Itulah kesalahan Papa, Papa tak pernah memperkenalkan aku kepada temen-teman Papa. Kita sudah seperti ini tapi tak satupun teman Papa yang Papa perkenalkan pada Nda” Aku benar-benar lost control. Hanya karena cemburu pada seorang wanita yang sengaja dikenalkan Kak Erwin pada Ugi yang status realnya memang masih sendiri. Kak Erwin tak tahu kalau ada aku di sisi Ugi. Ada aku yang mengisi hari-harinya.
“Kita belum siap bertemu siapapun Bunda” aku hanya bisa menangis. Dia memelukku erat, seakan itulah ucapan maafnya yang terdalam.
Atau sebuah kisah lain dimana aku hampir saja membuat Ugi terbunuh. Hanya karena sebuah sms dari seorang wanita yang mengaku memiliki perasaan lebih padanya. Aku muntab. benar-benar marah waktu itu.
“Siapa Lilyana?” aku mencoba untuk tidak menangis dan berpura-pura untuk terus melanjutan acara memasakku. Ugi terbatuk mendengar nama Lilyana disebut. Dia mungkin tak pernah mengira jika aku bisa tentang mengetahui nama itu.
“Nda tahu dari mana tentang Lilyana” tanyanya dengan gusar.
“Makanya, Handphon jangan pernah ditinggal di rumah Papa sayang, aku jadi bisa lihat sms-sms yang menggelikan itukan” aku masih berlagak tak sedang terjadi hal besar. Yang sesungguhnya hatiku sudah ingin menyemburkan magma kecemburuan yang luar biasa.
Sanes sasahana Bunda, mung rerencangan lami[1]
“Papa masih ingatkan, kalau Bunda tidak pernah suka dibohongi?” aku merasa bawang merah yang aku rajang menjadi 10 kali lipat pedasnya, menusuk-nusuk mataku.
Ugi terdiam. Tak mencoba mendebatku. Namun hal itu tak membuat aku lebih baik. Aku hanya ingin penjelasan. Siapa wanita yang mengaku tergila-gila pada Ugi itu. Aku mulai terisak. Ugi sadar hal itu, mermbuat dia bergeming. “Papa berkata benar Nda”
“Apa aku bisa percaya kalau aku sudah baca sms mesra Papa untuk wanita itu?” tangisku pecah. Bagaimana mungkin aku percaya jika wanita yang di ID Numbernya bertuliskan dengan nama Lilyana itu bukan siapa-siapa. “Papa tak pernah bilang punya teman bernama Lilyanan” kemesraan benar-benar terlihat bagaimana cara wanita itu mengagumi Ugi. Tentu siapapun yang membaca sms-sms itu akan tahu betapa dia begitu mencintai Ugi, pun dengan balasan Ugi sendiri, penuh dengan pujian dan sanjungan mesra kepadanya.
“Kamu salah paham Nda, tidak ada apa-apa dengan Lilyana, dia hanya salah satu teman lama Papa. Itu saja”
“Apa aku harus percaya kebohongan itu pa?” pisau yang aku pegang tiba-tiba menjadi perisai dalam pertengkaran ini. Aku tanpa sadar mengacungkan pisau itu ke arah Ugi. Ugi yang mengira aku akan berbuat nekat, reflek mengambil pisau itu dari tanganku dengan paksa. Aku yang terkaget dengan reaksinya langsung mengibaskan pisau itu ke sembarang arah, yang akibatnya lengan Ugi terluka dan berdarah.
Aku langsung histeris. Ku tatap wajah Ugi yang kesakitan. Aku berlari mencari apapun yang bisa mencegah darahnya terus keluar. Memberika pertolongan pertama dan menelephon ambulance untuk membawa kami ke rumah sakit.
“Enggak usah ke rumah sakit Nda, cuma luka sedikit saja kok” aku membersihkan lukanya dengan air mata berderai. Antara rasa bersalah dan kesakitan melihat luka di lengan kekasihku.
“Maafin Nda pa, Nda ngga sengaja. Nda keget melihat Papa tiba-tiba meraih pisau di tangan Nda, padahal Nda nggak ingin melakukan apapun” dia raih tubuhku. Di bawanya aku ke dadanya yang berdegup kencang.
“Percaya sama Papa Nda, tak ada siapapun selain Nda di hati Papa. Hanya Bunda” Kami menagis bersama dalam keharuan. “Kalaupun Papa harus berselingkuh, Papa hanya akan menyelingkuhi bayangan Bunda”
Lihatlah betapa besar cintaku padamu sayang. Bahkan dengan bayanganku sendiripun aku bisa cemburu.

Pun bagaimana dia menujukkan rasa cintanya dalam bingkai cemburu yang pas, tak berlebihan namun membuatku merasa benar-benar dicintai.
“Mau dicat apa kamar kita nda?” Kami kebingungan memilih pulahan daftar warna di sebuah toko bangunan di ujung jalan RE Martadinata. Dia sedikit cemberut karena diskusi panjang kami sampai detik inipun tak menemukan titik temu.
“Eem, Beauty Romantic” pekikku setelah berfikir cukup lama. Raut Ugi langsung berubah. Meski mencoba tenang, namun gurat ketidaksukaan begitu terasa.
“Nah.., bagus itu. Cocok untuk kamar pengantin” Koh Ayong, sang pemilik toko menimpali, membuat Ugi yang ingin menolak urung menyampaikan. “Anak muda sekarang pinterlah pilih warna” imbuk Koh Ayong dengan logat tiong-hoanya yang kental. Ugi semakin cemberut.
“Gimana pa?” tanyaku mencoba tak menghiraukan perubahat raut diwajahnya.
“Terserah Bundalah” jawabnya sembari ngeloyor pergi, membuat aku dan Koh Ayong melongo.
Sepulangnya dari toko bangunan itu Ugi tak menyapaku sedikitpun. Dia langsung menuju kamar dan merebahkan tubuhnya. Aku hanya bisa menarik nafas panjang.
“Papa kenapa sih?” kuusap pungunggnya sembari menatap lekat wajahnya, mencoba menetralisir sebuah kecemburuan yang mungkin saja dia rasakan saat ini.
“Kamu masih ingat Daniel ya?” tebakanku  benar, kamu sedang cemburu sayang.
“Masih,” jawabku tenang. Dia kontan memutar tubuhnya, semakin membelakangiku. “Lho? Kok marah?” aku suka gayamu yang seperti anak kecil ini sayang.
“Cat saja semua ruangan di rumah ini dengan warna favorit kalian” nadanya sedikit meninggi, aku terkaget. “Beauty Romantic…, hmm, sok imut banget” ungkapnya penuh cibiran.
Beauty Romantic, tema warna yang dulu aku dan Daniel rencanakan akan menghiasi setiap sudut rumah tinggal kami, warna yang kata Daniel akan menjadi simbol kemesraan. Namun bukan berarti Daniel masih ada di hati dan pikiranku saat ini. Aku hanya suka warna itu, seperti wanita pada umumnya. Warna-warni pink, ungu, maroon atau gradasinya. Warna-warna cinta yang romantis. Tak ada yang salah dengan warna seperti itu aku kira. Aku hanya tersenyum di balik tubuh Ugi, kekasihku yang sedang cemburu.
“Duuh, ada yang lagi cemburu ni…,” aku mencoba merayu dengan memeluknya dari belakang.
“Siapa yang cemburu?”
“Papa” jawabku dengan cepat. Dia langsung membalikkan tubuhnya dan menatapku lekat.
“Sekarang jawab dengan jujur, kamu masih ingat-ingat Daniel nggak?” dia seperti ingin mengintimidasiku.
“Eitss,” aku menjauhkan wajahnya yang terlalu dekat dengan mataku. “Masih ingat iya, tapi kalau untuk mengingat-ingat, maaf, sudah enggak ada waktu. Waktu Bunda sudah habis hanya untuk mengingat satu cinta yang saat ini menatap Bunda dengan garangnya” dia semakin melotot. aku balas melotot, lalu kami sama-sama tertawa, menertawakan kekonyolan kami.
Seling cemburu, saling mengungkapkan bahasa cinta yang luar biasa.
Kehidupanku di Tasikmalaya bisa dikatakan baik, teramat baik. Usaha yang aku kembangkan, maju pesat. Pemasarannya mulai melebar ke beberapa daerah di sekitar Tasikmalaya. Five-in mulai dikenal sebagai life style fashion kota berjuluk Delhi Van Java itu. Dengan mulai banyaknya outlet-outlet yang kami buka, dibantu dengan tangan dingin Ugi dalam menentukan segmen pasar, membuat usahaku berkembang dengan cepat. Ugi memang jeli membidik trend yang sedang ada di pasaran. Industri kreatif yang aku jalankan berjalan dengan grafik yang terus meningkat karena pengaruhnya. Tak percuma dia pernah memdalami ilmu psikologi pasar di bangku perkuliahan dulu. Nilai IPK nya yang Summa Cumlaod adalah bukti pengakuan Universitas Siliwangi kapadanya sebagai mahasiswa berprestasi. Kamu memang hebat Tuan Penolong.
Teman-teman Five-inku pun dibuat kagum. BEP 100% yang aku janjikan kembali dalam waktu dua tahun bisa terpenuhi hanya dalam kurun waktu 1 tahun saja. Mereka memujiku sebegai marketing didikan alam. Mereka tak pernah tahu jika ada sesosok istimewa di sisiku. Sosok yang selalu mendukungku, apapun itu. Mereka tak tahu jika ada Ugi di sampingku.
Hingga suatu saat,
Ana menatapku tajam. Seperti ingin menghukumku atas sebuah kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku tak bisa membuat semua lebih baik. Saat ini, hanya inilah yang bisa aku lakukan.
“Kamu sudah berfikir sebelum mengambil keputusan itu?” Ana terlihat menahan kemarahan yang besar. Kerutan di dahinya bisa aku lihat dengan jelas.
“Menurutmu apa aku punya pilihan lain?” jawabku membela diri.
“Kamu tentu punya pilihan di setiap keadaan” suaranya terdengar meninggi meski dia membuatnya setenang mungkin.
“Kamu nggak mengerti situasiku Na,”
“Kami memang tak mengerti apa yang membuat kamu mengambil keputusan seperti ini, juga dengan hubungan apa yang sedang kalian jalani saat ini” Ana beranjak meninggalkanku. Aku terisak. Aku tahu dia begitu kecewa denganku.
Tucha memelukku erat. Aku membalasnya pun dengan demikian erat. “Kami sayang sama mbak Lia” Tucha terisak bersamaku.
“Pasti kalian kecewa denganku”
“Bukan kecewa mbak, tapi kami ingin yang terbaik untuk mbak” Tucha semakin mempererat pelukannya.
Saidah menyodorkan segelas air putih kepadaku. “Sudahlah, tenangkan dirimu dulu. Kita bicarakan lagi nanti” ucapnya sembari membelai pundakku.
Aku benar-benar merasa bersalah dengan sahabat-sahabatku ini. Apa aku bisa disebut teman yang baik untuk mereka padahal meraka selalu ada untukku? Aku seperti tak tahu balas budi. Seperti seseorang yang tak pernah mengenal rasa terimakasih. Tapi bukan seperti itu keadaanya. Aku hanya ingin hubungan kami, hubunganku dengan Ugi yang sudah begitu jauh tak lagi menumpuk dosa. Bagaimana kami sudah terlalu jauh mengartikan cinta dalam bungkus hasrat sebagai dua insan muda yang tengah dimabuk asmara.
Suasana ketika itu grimis setelah hujan lebat. Rintik-rintik dan dingin. Aku melihat Ugi tersandar di sofa ruang tengah rumah yang aku beli sebulan setelah aku putuskan pindah ke Tasikmalaya. Kesibukannya dengan penyuluhan di pedalaman Tasikmalaya membuatnya terlihat sangat letih.
Lemon tea hangat adalah kesukaannya. Aku buatkan dengan sedikit menambahkan gula batu. Pas untuk sore yang dingin.
“A’, diminum tehnya, mumpung masih hangat” kubelai bahunya, mencoba membangunkannya.
Dia memberiku senyuman di tengah kelelahannya dengan mata yang masih memerah. “Eem, mana sayang?” aku berikan secangkir teh yang telah aku siapkan sembari membersihkan peluh di pelipisnya.
Cape ya A’?” tanyaku.
“Iya sayang, hari ini ada penyuluhan di daerah Taraju, jalanannya berkelok-kelok, di kanan kiri jurang dan tebing, ada beberapa titik bekas longsor. Jadi agak cape”
“Laper nggak?”
“Laper banget” jawabnya polos. Aku berniat beranjak namun baru saja akan berdiri tangannya mencegahku. “Mau kemana?”
“Mau nyiapain makan buat Aa’” jawabku.
“Enggak usah, temani saja Aa’ di sini” dia tarik tanganku dengan tenaga yang sedikit berlebihan menurutku. Membuat aku limbung dan jatuh menindihnya.
“Aa’, iseng ah, lepasin. Malu dilihat orang” tapi dia tak menjawab. Dia hanya menatapku lekat. Dan sekali lagi, mata itu membatku terlena. Membuat kami terbang ke arah lain dari cinta.
Ya Allah,
Jika malam ini aku hadir dalam sisi-Mu sebagai  manusia yang salah
Maka ampunkanlah, sebegaimana sifat asih-Mu
Hamba datang dengan penuh kepasrahan atas takdir yang Engkau gariskan,
Atau jalan takdir yang hamba pilih
Ya Allah,
Hamba haturkan selaksa permohonan untuk sebuah kegundahan
Resah hati yang membara,  menjadi kian parah
Lalu jiwa terparut luka, dalam perih yang tak terhingga
Ya Allah
Hamba mencintainya, dengan teramat sangat
Seperti cinta Zulaiha kepada Yusuf, seperti cinta Muhammad kepada Khodijah
Hanya caraku mencitainya salah, tak setulus cinta Adam kepada ibu Hawa
Ya Allah, untuk cinta yang lain ini,
Ampuni caraku memperlakukannya, pun caranya memperlakukanku
Kami hanya manusia yang begitu terlupa karena sebuah kefanaan.

“Ambil ini, ini nomor telepon bapak kamu” Ana menyodorkan sebuah kertas ke arahku. Aku hanya menatap benda itu bergantian dengan raut wajah Ana yang datar. Ana tentu tahu jika aku tak pernah suka orang itu disebut-sebut dalam hidupku, apa lagi harus menghadirkannya di kehidupanku lagi.
“Setahuku, keadaanmu belum melunturkan ketentuan syariat yang harus kita laksanakan sebagai seorang yang beriman” dadaku naik turun. Menahan nafas yang tiba-tiba berat.
“Kami tak melakukan kesalahan dalam pernikahan ini” jawabku.
“Menurutmu apa hukum pernikahan yang salah satu saja rukunnya tak terpenuhi?” kali ini aku rasakan tatapan Ana seperti menghakimiku. “Tak usah dijawab, aku yakin kamupun tak ingin menjawabnya, bagaimanapun setiap anak perempuan tetap butuh wali sah untuk menikahkannya”
“Wali hakim sudah cukup untuk menikahkan kami” jawabku dengan nada tinggi.
“Jangan hilangkan haknya sebagai bapak kandungmu Lia. Dia punya hak untuk menikahkan anak perempuannya, dan kamu tak berhak menggantikannya dengan siapapun selama dia masih ada”
“Dia telah membuang haknya saat dia menelantarkanku”
“Kamu bukan Tuhan yang bisa menghukum seseorang. Biarkan itu menjadi hak prerogatif Tuhan. Kami tidak akan pernah membiarkanmu menjadi pelanggar peraturan Tuhan”
Aku tak sanggup lagi berkata-kata. Semua tertumpuk dalam dadaku yang sesak. Aku merasa menjadi seorang pendosa dengan deretan kalimat yang Ana ucapkan. Aku menangis, namun hanya bisa didengar oleh hatiku.
Ana meraih tanganku. Menggenggamnya erat, penuh kasih. “Jika kamu masih berat untuk menghubunginya, biar aku yang memintanya untuk menyelesaikan kewajibannya, mengantarkan putri cantiknya ini kepelaminannya yang suci, dengan syari’at yang agung”



[1] “Bukan siapa-siapa bunda, hanya teman lama”

Selasa, 14 Februari 2012

AKU, KAMU DAN KEBAHAGIAAN (BAB V di NovelQ)


Aku, Kamu dan Kebahagiaan

“Lia, ini sudah terlalu lama, pulanglah” suara Ana di ujung telepon terdengar gusar. “Apa kamu lupa kamu punya banyak tugas di sini?” bukan itu yang ingin Ana katakan. Ana hanya ingin mengatakan. Jangan buat kami hawatir teman. Dia tak pernah bisa mengatakan sesuatu secara verbal dan jelas.
“Iya, aku akan segera pulang. Aku juga tak ingin menghabiskan lebih dari setengah tabunganku di sini” jawabku sekenanya.
“Temenku yang di Bandung bilang dia nggak ketemu kamu di stasiun? Benar itu? Terus kenapa handphone kamu nggak aktif selama lebih dari dua minggu?” Ana tetaplah Ana. Sahabat terhebat yang pernah aku miliki. Dia tak perlu mengatakan jika dia begitu teramat-sangat hawatir kerana aku tiba-tiba menghilang, tapi dari pertanyaannya itu aku tahu dia lebih dari sekedar hawatir. Aku baik-baik saja kawan. “Kapan pulangnya? Biar kami jemput di bandara”
“Naik kereta saja. Aku lebih suka pakai kereta”
Sudah waktunya aku kembali. Sahabat-sahabatku menantikan kehadiranku. Aku sudah membuat meraka terlalu khawatir dengan hilangnya aku selama lebih dari dua minggu. 17 hari tepatnya. Keputusanku untuk menyendiri memang tak bisa diganggu gugat. Tidak juga bantuan dari teman Ana yang berada di Bandung. Bagiku itu bukan sebuah bantuan, melainkan bentuk lain dari pengawasan yang Ana siapkan dan aku benar-benar sedang tidak ingin ada pengawasan dalam bentuk apapun. Lalu aku tak pernah menemuhi Edy, teman yang Ana minta menemaniku selama di Pangandaran.
Ugi memandangiku tanpa berkata apapun. Kami sama-sama terdiam. Lama sekali. Lebih dari  dua minggu ini dia adalah tempatku mengadu. Entah kenapa aku merasa nyaman berbagi cerita dengannya. Pengalamanku yang cukup menyakitkan tentang orang-orang di sekitarku membuat aku menjadi pribadi yang sulit menerima orang baru di hidupku, tapi tidak dengan Ugi. Dia berbeda. Dia bisa membuatku merasa nyaman untuk menceritakan apapun.
“Aku pulang ya A’, terimakasih telah dijaga selama di sini” dia hanya menatapku. Tak ada satu katapun yang terdengar darinya. “ Kenapa diam? Kan kita masih bisa ketemu lagi. Insyallah,”
Tak bosannya kami menyaksikan semburat senja yang indah di ufuk barat. Seperti lembaran permadani jagad raya yang menutupi langit dengan warnanya yang anggun. Kemerahan bersulam emas dan sedikit gumpalan awan abu-abu berlalu-lalang. Bertambah cantik dengan pantulan cahaya matahari di gelombang laut yang tenang, Seperti dilatasi dua benda yang sama-sama ingin menunjukkan kecantikannya. Ditambah semilir angin Pangandaran yang menenangkan itu, membuat semua beban serasa menguap.  Kamu benar A’, aku telah jatuh cinta dengan semilir angin pangadaran.
“Jadi kapan pulangnya?” suaranya terdengar serak. Tatapannya tak beralih dari senja yang kemerahan itu.
“Besok,” jawabku
“Tetaplah di sini” ucapnya lirih.
“Aku ingin, tapi aku punya banyak tanggung jawab di Surabaya. Aa’ kapan-kapan mainlah ke Surabaya. Aku yang akan menemani” kenapa jadi aku sekarang yang  membujuknya? Terkadang kamu seperti anak kecil juga ya Tuan penolong. “Atau aku yang akan ke sini lagi”
Tak ada yang menduga aku bisa pulih sedemikian cepet. Ana terheran ketika aku berlari dengan senyum mengembang menyambut pelukannya. Dia menatapku penuh tanya ketika kami bertemu untuk pertama kali di stasiun Gubeng, seperti tak percaya menyaksikan 1800 perubahanku. “Nice to see u sista” ucapnya sembari memelukku erat namun dengan nada yang masih tak yakin.
“Semua baik-baik sajakan?” tanyanya untuk kesekian kali, dan aku mengangguk mantap meyakinkannya jika aku tetap temannya yang sama, yang 17 hari lalu dia lepas kepergiannya dengan sisa hidup yang sepertinya tak akan lama.
Ku lihat juga semua temanku datang menjemput. Lengkap. Beserta Chofi, suami dari Tucha. “Mbak Lia.., kangen” tucha memelukku erat. Seperti telah lama sekali kami tak bertemu. Setelah itu Icha dan Saidah. Semuanya menyambutku dengan bahagia.
Sudah kuputuskan untuk mengubur kisah itu dalam. Menyimpan masa lalu itu dengan rapat. Tak perlu lagi aku mengingat seseorang yang mungkin kini tak lagi mengingatku. Aku bisa melakukan itu pada kedua orang tuaku, juga keluargaku, mana mungkin aku tak bisa melakukannya pada seseorang yang sebelumnya juga adalah seorang yang asing.
Setelah itu, aku kembali pada rutinitasku. Sebagai manager marketing courporate kami. Kangen sekali aku pada ruangan kecilku di lantai tiga ruko yang kami beli dengan susah payah ini. Ruko yang kami bilang sebagai cikal bakal dari gedung pencakar langit yang akan kami miliki nanti.
Semua tetap sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Tetap berantakan dengan kertas catatan yang tergelatak di sembarang tempat. Hmm, ternyata aku memang tak pernah bisa rapi. Aku menghela nafas berat, lalu menertawakan kekonyolanku sendiri. Sepertinya teman-temanku tidak menyentuh sama sekali barang-barangku di ruangan ini. Aku memang tak pernah suka orang lain memindahkan barang-barangku tanpa seizinku. Dan itu yang mereka lakukan untukku. Tak memindahkan satu barangpun dari ruangan ini.
Rasanya sudah lama sekali aku tak melihat kesibukan di jalan raya Karang Menjangan dari jendela ruanganku. Sesuatu yang dulu sering aku lakukan sebelum cinta Daniel menjadikanku mayat hidup karena perpisahan itu. Aku selalu suka menikmati keramaian jalan Karang Menjangan. Jalan utama yang persis di depan ruko kami. Tak terlalu padat dengan aktivitas lalu lintas. Hanya sesekali dan pada jam tertentu saja kepadatan terjadi di sana, dan itupun tak terlampau parah menurutku. Kendaraan-kendaraan itu seperti sedang berlomba menaklukan waktu. Saling berkejaran dengan satu tujuan pasti, untuk segera menemui arah lari mereka. Aku menyaksikan deretan itu, seperti melihat pada diriku sendiri. Melihat kaki kecilku yang sedang berlari mengejar dimensi hidup untuk segara sampai di tujuan hidupku, berlari menjemput mimpi. Ah, sok dramatis sekali.
 Lokasi ruko kami yang  tepat menghadap jalan raya itu menjadi sangat strategis dengan diapit antara rumah sakit umum daerah Dr. Soetomo dan beberapa perguruan tinggi terkenal di jawa timur. Tentu saja hal itu memberi dampak yang sangat baik untuk bisnis yang sedang kami kembangkan. Akses yang mudah adalah salah satu syarat yang harus ada untuk pengembangan bisnis seperti yang sedang kami geluti.
Kluing, handphoneku berbunyi. Sebuah sms masuk.
“Pagi Lia manis,” dari nomor baru. Aku tak pernah suka membalas sms-sms iseng seperti ini. Aku biarkan saja. Aku kembali menikmati pemandangan di bawah sana.
Kluing, Kembali satu sms aku terima.
“Aku tahu kamu tak akan membalas sms seperti ini” aku mulai penasaran. Tapi aku mencoba tak perduli. Jika orang itu perlu pasti akan mengatakan kepentingannya menghubungiku. Belum sempat aku menikmati lagi pemandangan di bawah sana, satu sms kembali aku terima. “Maukah kamu mentraktirku es kelapa muda di pinggiran pantai Pangandaran?” aku terbelalak. Ah kamu, suka sekali memberiku kejutan.
Segera kudial nomor baru itu dan mendapati suara cekikikan dari seberang sana. “Assalamualaikum Manis” entah kenapa aku seantusias ini menyambut telepon darinya.
“Waalaikum salam” jawabku. “Jahat ah, aku pikir siapa tadi, jangan suka iseng atuh”
“Keisengan yang paling aku suka ya ngisengin kamu” aku dengar tawanya yang renyah. Tawa yang membuatku rindu pada pemiliknya. Ups? Rindu?.
“Kok Aa’ tahu nomor teleponku?” seingatku aku tak pernah memberinya nomor handphone. Dari mana dia mendapatkannya?
“Dunia sudah maju manis, nggak sulit buat ngelacak keberadaanmu” lalu kami tertawa bersama.
“Di Tasikmalaya? Kamu yakin?” Saidah mencoba menebak keseriusanku untuk membuka cabang di sana. “Enggak boleh” Saidah menolak usulku. Dia tahu repotasiku ketika menghadapi permasalahan, lari dan menghilang atau memilih menyelasaikannya dengan caraku sendiri, apapun bentuknya. Apalagi untuk permasalahan seberat kemaren, mungkin Saidah khawatir jika aku akan berbuat nekat dengan cara yang tidak akan mereka tebak sebelumnya.
“Usaha kita di sini sudah bisa berdiri tanpa aku, atau aku bisa mengontrolnya di Tasikmalaya nanti” aku mencoba melobi sahabat-sahabatku ini. Mereka tampaknya masih belum mempercayaiku apalagi ditambah dengan peristiwa menghilangnya aku selama 17 hari.
“Kita baru memulainya di sini Lia, mana mungkin kamu sudah meninggalkannya” Saidah bersikeras.
“Kita perlu perluasan secara nasional” jawabku diplomatis.
“Kita kuatkan dulu yang di sini”  Icha melengkapi. Mereka tentu tahu, aku tak mudah dipatahkan tanpa argumentasi yang lebih kuat dari keputusanku. “Jangan terlalu terburu-buru” Icha menambahi.
“Aku yakin usaha ini akan berdampak baik. Tasikmalaya daerah yang startegis teman” apa kalian sudah tahu kalau aku juga ingin menjauh dari hiruk-pikuk Surabaya?.
“Kenapa dengan Tasikmalaya?” Ana memancingku dengan analisis yang  mungkin bisa mematahkan keteguhanku.
“Karena Tasikmalaya memiliki potensi di bidang yang tengah kita jalani. Pariwisata di sana sedang berkembang baik. Banyak investor yang menilai Tasikmalaya sebagai daerah dengan prospek investasi paling cerah dibandingkan daerah lain. Pemerintah tengah mengembangkan daerah ini untuk menjadi daerah tujuan wisata dan belanja. Kiblat wisata dan belanja bukan lagi melulu ke Bandung atau Jogjakarta, melainkan sudah bergeser ke selatan jawa, yaitu Tasikmalaya.” jawabku dengan logika ekonomi yang aku pelajari. Aku tak berlebihan karena memang itulah kenyataannya. Tasikmalaya memiliki potensi yang baik untuk pengembangan usaha industri kreatif kami. Pun memiliki cintaku yang tertinggal disana. Cinta yang takku tahu kapan mulai berseminya. Mungkin sejak ciuman pertama itu, aku langsung jatuh hati  pada Tuan penolongku.
“Berapa nilai yang kamu targetkan?” dengan dingin khas pengusaha muda, Ana mencoba beranalisis atau sekedar menakutiku dengan kata target. Sepertiya kamu belum begitu mengenalku Ana.
“Dua tahun, BEP 100%” Ana tersenyum. Tanda dia menerima tantanganku.
Setelah kepulangaku ke Surabaya, tak sedikitpun mengurangi kedekatanku dengan Ugi. Kami masih sering berbagi kebar melalui media apapun yang memungkinkan kami bisa berkomunikasi. Melalui seluler, BBM, Yahoo Messengger atau pun sekedar inbox Facebook,.
“Kamu serius mau membuka cabang di Tasikmalaya?” tanyanya antusias. Aku mengangguk dan memberinya senyum termanis. Video Messenger memudahkan kami berbagi ekspresi. “Kapan rencananya?”
“Bulan depan, mau survey lokasi. Kalau ada yang pas, langsung mengurus kepindahan. Ini baru melakukan persiapan awal”
“Nanti aku bantu mencarikan tempat yang strategis” Meski remang-remang dari layar Video Messenger, aku bisa melihat semangatnya. “Aku kenal beberapa orang yang bisa membantu untuk urusan bisnis seperti ini” Aku mengangguk.
“Lia, emm, aku boleh mengatakan sesuatu yang sedikit serius?” Nadanya berubah. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang berat.
“Naon A’?”
“Mau ikut bersamaku?” Aku tatap pemuda yang tergambar di balik layar maya Video Yahoo Messenger. Dia seperti sedang berdiri di sampingku, dan aku mengangguk bahagia.
“Ke mana kamu akan mengajakku?”
“Aku ingin membawamu ke sebuah tempat, yang hanya akan ada Aku, Kamu dan Kebahagiaan.
Aku ingin membawamu ke sebuah tempat, yang hanya akan ada Aku, Kamu dan kebahagiaan.
Perkenalkanku dengan A’ Ugi memjadi titik baru dalam hidupku. Kehadirannya seperti sebuah oase yang aku temukan di tengah gurunku yang panjang. Dia datang membawa kebahagiaan untukku dengan tak terhingga.
“Kenapa kamu mencintaiku?” tanyanya di suatu pagi yang indah di tengah padang rumput hijau di bawah kaki gunung Galunggung , Tasikmalaya.
Aku menatapnya dalam. Seperti mencari jawaban dari pertanyaannya. Aku mencintaimu karena kamu mempunyai senyum yang menenangkan cinta, lihatlah bibirmu yang merona seperti bayi itu, berpadu manis dengan kulitmu yang langsat membuat pipimu akan merona jika kau ketahuan memandangiku yang sedang berdandan, seperti seoarang gadis yang tersipu ketika dirayu kekasihnya. Atau lihatlah pula hidung kebanggaanmu itu, mancung runcing dengan gagah. Tapi dari semua itu, aku lebih suka matamu. Matamu yang indah. Mata elang yang membuatku selalu merasakan cinta yang besar ketika menatapnya. Aku mencintaimu lebih dari kata-kata.
“Aku mencintaimu karena kamu bisa memperlakukanku dengan baik A’, tak kurang, tak berlebih” aku genggam tangannya yang hangat. Meyakinkan jika semua yang aku katakan benar adanya. “Kenapa Aa’ mencintaiku?”
Dia menatapku dengan mata indahnya, mata yang selalu membuatku jatuh cinta itu. Mata elang yang menyejukkan.
“Karena aku terlahir untukmu”
Ah, seakan segala keindahan dunia tercurah sekali lagi padaku. Lebih dari ketika Daniel mengatakan pujiannya padaku waktu itu. Lebih dari kebahagiaan wanita manapun di dunia ini. Lebih dari semua cinta yang pernah ada.
Aku hanya wanita
Yang  ingin mencintaimu dengan sempurna
Seperti malam yang malang tanpa gelap
Laksana pagi yang hilang tanpa terang
Aku hanya wanita
Yang ingin mencintaimu dengan benar
Seperti bilangan ganjil dengan genap
Laksana detak jantung dalam hitungan
Aku hanya wanita
Yang ingin mencintaimu dalam nyata
Seperti bias dalam ruang hampa
Laksana cakrawala dalam semesta
Aku hanya wanita
Yang akan mencintaimu selamanya
Seperti setia angin kepada udara
Laksana kepatuhan hamba kepada Tuhanya
Aku hanya wanita
Yang akan selalu menemanimu dalam doa