Kamis, 16 Februari 2012

09 MEI (BAB VI Di NovelQ)


09 Mei

Semilir angin lembut Tasikmalaya menemani aktifitas kami pagi ini. Kutatap pemilik mata elang itu dari balik cermin yang terpantul ke arahku. Mata itu berkilatan seperti lesatan anak panah yang terlontar dari busurnya. Tajam, tegas, dan penuh percaya diri. Matamu mengalihkan hidupku dari apapun di dunia ini sayang.
Betapa masih jelas terpatri di ingatanku bagaimana dia datang dengan cara yang ajaib dua tahun yang lalu. Seumpama Pangeran berkuda putih dengan sekuntum mawar merah yang datang menyelamatkan sang putri dari kematian mengenaskan dengan kecupannya. Dogeng Putri Salju yang dulu selalu aku hayalkan akan terjadi di hidupku nyatanya benar-benar terjadi. Menghadirkan Pengeran versi terindah dalam hidupku. Lihatlah Pangeranku itu, sedang asyiknya merapikan dasi warna biru muda kesayangnya.
“Bunda, bantuin Papa ngerapiin dasi ini dong” aku tergagap. Takut ketahuan kalau aku telah mencuri-curi pandang.
“Rapi banget sayang, ada acara apa di kantor?” tanyaku sembari merapikan dasi biru suamiku. Dia tak pernah bisa melakukannya dengan baik.
Ada kunjungan Dinas dari Menteri Pendidikan Papa mesti mendampingi, mungkin sampai malam Nda” jawabnya dengan tangan yang memeluk erat pinggangku.
“Duuuh, sayang ya, padahal Bunda mau mengadakan pesta kecil untuk menyambut tamu sepesial” ada kado istimewa untuk pernikahan kita sayang. Tetaplah di rumah mendampingiku.
“Siapa sayang?” tanyanya.
“Ah, Papa juga lagi sibuk. Enggak bakal bisa datang menyambut juga kan, ngapain Bunda cerita, tapi yang pasti dia, seseorang yang istimewa ini, akan sangat kecewa dengan Papa”
“Siapa sih Nda? Kalau memang harus ya nanti Papa usahakan,” ucapnya dengan mimik muka serius. Aku terdiam lama memainkan emosinya.
“Coba tebak?”
“Mama?” jawabnya polos. Aku menggelang mantab.
“Emm, atau jangan-jangan temen-temen Five-in kamu ya?” suaranya gugup.
“No,” aku kembali menggeleng mantap.
“Duh, siapa ya? Nyerah deh” ucapnya sembari mengecup keningku.
“Our Baby”
Ugi melonjak. Matanya berbinar meski tetap seperti tak percaya. Dia meraba perutku, mencoba merasakan kehadiran makhluk kecil yang akan meramaikan kehidupan bahagia kami. Aku mengangguk meyakinkannya.
I love you so much” dia memelukku erat. Air mata yang menetes menjadi ekpresi kebahagiaannya. Kami berdua hanyut dalam keharuan. Terimakasih Tuhan, telah semakin Engkau perlengkap kebahagiaan kami.
“Bunda akan mengadakan apa nanti? Biar Papa cancel semua jadwal hari ini untuk bisa menemani kalian sebanyak mungkin” suaranya terdengar antusias sekali. Aku tertawa geli. Ugi melotot, tentu saja dia tahu jika acara penyambutan tadi hanya sekenario untuk menyampaikan berita gembira ini.
“Dasar” pekiknya sembari mencubit hidungku. “Tapi Papa tetap mau menemani Bunda dan bayi kita seharian ini” dia membuka kembali simpul dasinya.
“Lho? Kok? Kan Bunda tadi cuma godain Papa”
“Biar ah, Papa lagi kepingin nemenin istri tercinta”
“Nanti nyesel lho, enggak bisa ketemu sama Pak Menteri?”
Dia tertawah renyah. “Yang akan membuat Papa lebih menyesal adalah membiarkan anak-istriku merana kesepian” ucapnya di sela-sela tawanya yang menggema. Aku tahu itu buka sekedar lelucon sayang, dan kami percaya kamu akan selalu ada di samping kami. Selamanya.
Semuanya begitu indah. Cerita hidupku seakan berbalik arah. Seperti titik yang saling bersebrangan. Hatiku melambung di puncak kebahagiaan. Bagaimana tidak, aku punya cinta yang begitu besar dari Ugi, pun keluarganya yang mau menerimaku apa adanya. Juga dengan teman-temanku yang luar biasa, yang selalu mendukung langkahku, apapun yang aku lakukan. Termasuk mendukungku untuk segera mengulang pernikahan kami dengen lebih sah di mata agama, maupun dalam catatan resmi Negara.

“Ana tadi telphon Pa, Dia meminta aku pulang” aku mencoba membuka percakapan di sela-sela waktu makan siang kami. Kami selalu menyempatkan waktu untuk sekedar makan siang di tengah rutinitas dan kesibukan kami masing-masing. Ugi yang sibuk dengan unit pelayannya sebisa mungkin untuk menyempatkan waktunya, bagitu pula aku dengan bisnis fashionku.
“Nda kapan rencana pulang bulan ini?” tanyanya sembari menikmati ikan tongkol asap kegemarannya.
“Mungkin besok atau lusa”
“Oh, ya udah tho, berarti malam ini Papa bantuin nda kemas-kemas. Nda udah siapin laporan sebulan kemaren kan?” aku mengangguk. Sebenarnya ada hal yang lebih besar yang ingin aku utarakan, tapi hanya berputar-putar saja di antara sendokan sayur bayam dan sambal terasiku.
“Emm, pa. Nda mau ngomong sesuatu”
Sok atuh, naon nu bade dicarioskeun?[1]” jawabnya, “Teu kegning disimpen bae Bunda sayang, engke bilih janteun bisul lho[2]
“Ana minta aku mengajak Papa juga” Ugi terbatuk. Tentu itu bukan sesautu yang ingin didengarkannya siang ini. Tapi tetap harus diomongkan. “Mereka ingin mengenal Papa”
“Bunda yakin akan mengajak Papa besok?” aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tentu ingin memperkenalkan suamiku ini pada teman-temanku. Sudah 1 tahun lebih pernikahan kami, tapi mereka tak mengetahui apapun tentang itu. Kami memang menikah secara siri. Hanya dihadiri keluarga dan beberapa kerabat dari Ugi saja.

“Papa sibuk Bunda” jawabnya dingin tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop. Setelah percakapan makan siang yang tak menemukan kesepakatan itu, kami terus saja berdebat.
Aku mulai terisak. Mataku memanas sembari menatap miris ke arah suamiku. “Meraka ingin yang terbaik untuk kita Pa,” tangisku mulai pecah. Suaraku terdengar parau.
Ugi mulai menatapku yang kuyuh dengan air mata berlinangan. Aku tahu jika dia tak pernah bisa melihatku menangis, bahkan sampai terisak seperti ini. “Jika bukan karena aku, lakukanlah demi anak kita Pa, aku tak ingin dia lahir tanpa status kewarganegaraan yang diragukan, aku tak ingin anakku mengalami kesulitan yang sama seperti yang pernah aku alami, malu karena tidak memiliki status hukum yang jelas hanya karena orang tuaku tak pernah mau direpotkan dengan pengurusannya” nafasku tersenggal-senggal. Aku berbicara di sela tangisanku yang juga deras. “Bunda hanya ingin memberi yang terbaik untuk anak kita Pa, tidak lebih”
Ugi meraihku. memelukku erat. “Bunda tadi ngomong apa? Papa enggak bisa dengar, besok lagi kalau ngomong jangan sambil nangis, Bundakan tahu kalau Papa tak pernah bisa melihat Bunda seperti ini” aku tahu saat ini Ugipun terisak. Air matanya aku rasakan mengalir di pundakku. “Apapun yang terbaik untuk Bunda, akan Papa berikan. Termasuk pernikahan terindah yang takkan pernah bisa dibayangkan siapapun”
Tak butuh waktu lama, malam itu juga aku memberitahukan berita gembira ini kepada teman-temanku. Ugi telah setuju untuk melegalkan pernikahan kami meski dia harus siap dengan resikonya, melepas pekerjaan yang selama ini dia jalani karena terikat kontrak kerja yang menurutku terlalu mengada-ada. Pelanggaran HAM kataku waktu itu kepada Ugi.
“Jadi kapan rencananya Lia?” kali ini Icha yang berkomentar. Suara di sebrang sana gaduh sekali sepertinya mereka sedang berebut untuk saling berbicara.
“Rencananya tanggal 09 Mei besok, kalian mau kan bantu aku untuk nyiapain keperluan nanti?”
“Pasti dong, mau konsep pernikahan apa? Apa perlu kami minta bantuan sama Daniel?” lalu suara di sebrang sana semakin gaduh lagi. Sepertinya semua mencoba memprotes Icha dengan ucapannya barusan.
“Ide bagus, Aku suka, tolong undang Daniel juga ya di pestaku nanti, bagaimanapun kami dulu pernah berteman baik” semua teratawa. Kami bahagia. Mereka sahabat terbaikku, aku takkan pernah bosan mengatakannya, kalian sahabat terbaikku.
“Lia, aku sudah ke rumah bapak kamu di Tuban. Beliau siap kapanpun kamu memintanya untuk datang” tak bisa aku ucapkan keharuan ini. Entah kenapa aku merasa lega mendengar kabar yang Ana sampaikan. Aku merasa jika itu adalah kabar baik untukku. Ana benar. Bagaimanapun anak perempuan tetap butuh bapaknya untuk menuntunnya ke altar suci pernikahan yang agung. Aku terharu dengan teramat sangat. Terimakasih Ana.
Tak terhitung batapa besar kebahagiaan yang aku rasa. Semua begitu sempurna teratur dengan indahnya. Tak kusangka perjuanganku selama ini untuk membujuk Ugi meresmikan pernikahan kami segera terwujud. Betapa terasa sempurna pernikahan ini dengan status kami yang akan legal. Tak perlu bersembunyi dari siapapun, tak usah menetupi dari apapun. Semua berhak tahu atas kebahagiaan kami. Apa lagi yang kurang Tuhan, sungguh tak ada.
“Bunda bahagia?”    
“Bunda bahagia sekali sayang, Papa?”
“Kebahagian Bunda segalanya buat Papa” aku tersanjung. Kupeluk tubuh suamiku dengan erat.
Kami mulai disibukkan dengan segala persiapan pernikahan kami. Mulai mempersiapkan beberapa dokumen yang kami butuhkan hingga beberapa pernik yang mama rasa harus ada di pernikahan kami nanti. Selain aku, mamalah orang yang paling bahagia dengan kabar pernikahan ini. Beliau bahkan sampai menangis menciumi pipi putra kesayangannya itu. “Akhirnya ya, Aa’ dari dulu harusnya ya A’ “ ucap beliau.
Sejak rencana pernikahan ini kami beritahukan kepada beliau, mama langsung saja repot mempersiapkan semua pernik yang mungkin akan kami butuhkan. Sebenarnya kami tak ingin beliau serepot ini, tapi bahkan Ugi pun tak bisa membendung keseriusan mama dalam mempersiapkan semuanya. Tak ketinggalan Papa yang tak mau kalah. Laki-laki pendiam yang selalu bersahaja itu ternyata juga bisa merasa gugup seperti itu. Merasa seperti akan menikahkan putranya untuk pertama kali padahal sebelumnya beliau telah menikahkan dua putra-putrinya. Kami sampai tertawa melihat beliau harus berulang kali salah menyebut nama putra-putrinya karena saking gugupnya. Dan setelah merasa sedikit tenang, beliau memulukku hangat sembari memenjatkan selaksa do’a yang membuat aku menangis di dekapannya. “Barakallahu lakuma, wabaroka a’laikuma, Wa Jama’ah bainakuma fl khoir[3]
Aku meminta keluarga Ugi mendampingiku saat prosesi pernikahan nanti. Mereka menyanggupinya dan seluruh keluargapun ikut sibuk mempersiapkan semua keperluan kami saat akad nikah yang akan di gelar di Lamongan, desa kelahiranku nanti. Bahkan suami Milla, jauh-jauh pulang dari Makassar untuk turut mendampingku, pun dengan istri A’ Denis, kakak Ugi yang rela meninggalkan rutinitasnya di sebuah rumah sakit daerah sebagai seorang bidan.
Di tengah mereka, Aku seperti memiliki keluarga yang lengkap, selengkap kebahagiaan yang aku rasa, kebahagiaan memiliki orang tua, kakak, kakak ipar, adik, adik ipar serta ponakan yang lucu. Ah, bahagianya. Benar-benar bahagia. Tak ada kata lain selain bahagia. Syukurku dalam doa pada-Mu.

9 Mei 2011.
Malam terasa panjang. Aku seperti saja tidur begitu lama. Tubuhku terasa melayang seakan tak memiliki tulang. Ku terhuyung bangun dari ranjangku. Melihat sekeliling yang mulai silau. Sepertinya aku telah melawati beberapa hari yang panjang dalam tidurku. Aku linglung dengan beberapa memori yang terserakkan dipikiranku. Seingatku, aku sedang bersiap untuk keberangkatanku ke Lamongan sore kemarin. Kami bahkan telah duduk di gerbong kereta api yang yang akan mengantarkan kami ke sana. Kami masih sempat bercanda salama di dalam gerbong, hingga aku terlelap dan tak tahu lagi apa yang terjadi.
Pandangku tertujuh pada beberapa kopor dan parcel hantaran yang tertata berjejer di sudut kamar. Barang-barang yang kami persiapkan untuk acara nanti. Nanti? Seketika kesadaranku terurai. Satu persatu peristiwa malam sebelumnya teringat. Bukankah sebelumnya kami sibuk memepersiapkan sebuah peristiwa yang akan begitu penting di hidupku. Bukankah harusnya kami sudah berada di dalam kereta yang akan berangkan ke Lamongan? Apa mungkin semalam aku hanya bermimpi jika aku sudah berangkat ke Lamongan?.
Aku melonjak dari tempat tidur. Mencari-cari sosok suamiku. Tapi tidak ada siapapun di sampingku. Mungkin dia sudah terbangun sebelum aku. Bagaimana aku bisa seceroboh ini dan bagaimana juga Ugi bisa sesantai ini membiarkan aku tertidur sampai begitu lama. “sayang..?” aku mulai turun untuk membangunkan yang lain. Mungkin merekapun terlalu bersemangat menyiapkkan keberangkatan kami ke Lamongan hingga melupakanku yang masih tertidur di kamar. Aku melangkah ke kamar tamu, kosong. Ke dapur, pun kosong. Rumah menjadi terlau sepi untuk dihuni 9 orang dewasa dan satu bayi berumur 10 bulan. Ke mana mereka? Pikirku.
Aku seperti orang bodoh yang tak tahu apa yang aku cari, mondar-mandir dari satu ruang ke ruang yang lain dari lantai satu naik ke lantai dua dan sebaliknya. Rumah ini tentu tak terlalu besar untuk tempat bersembunyi yang bagus, hanya ada 4 kamar di dua lantainya. 2 kamar mandi, ruang  tamu, ruang tengah, dapur dan halam belakang yang tak terlalu luas. Tapi semua nihil. Tak ada satupun suara yang terdengar kecuali teriakanku yang memanggil mereka satu persatu.
Ayolah Pa, ini enggak lucu” aku mulai gelisah. Ini lelucon yang keterlaluan. Aku mulai tak suka permainan ini. Awas jika satu saja diantara meraka aku temukan. Akan aku marahi habis-habisan.
Hampir satu jam aku berkutat dengan sudut demi sudut rumahku. Aku kebingungan dan hampir menangis karena putus asa, aku tak lagi sanggup berfikir jika ini lelucon. Pasti ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan hanya dengan meminta maaf Pa.
Aku sudah tak bisa berfikir lagi. Aku kembali ke kamarku dangan berlari, sudah lebih dari 13 kali aku keluar masuk ke ruangan ini hanya untuk memastikan jika mereka semua mengerjaiku. Air mataku benar-benar tak bisa ditahan. Aku menangis sejadinya, berharap mereka kasihan, lalu muncul dan berkata “surprise….”
Kluing, kluing
Handphoneku berbunyi. ID yang terlihat di sana ANTUNK
“Assalamualaikum, Hallo, Lia, kamu ada di mana?” nada suaranya panik.
“Walaukum salam Na, aku masih di Tasikmalaya” tangisku semakin menjadi.
“Lho? Kenapa? Kok bisa? Semalam kamu bilang sudah di stasiun, terus pagi ini sudah ada di Lamongan? Ada apa lia?” Gaduh sekali di belakang Ana. Mungkin acara sudah siap digelar.
“Aku masih di Tasikmalaya, aku enggak tahu kenapa aku masih disini, A’ Ugi juga udah enggak ada, apa dia sudah di sana?” tanyaku benar-benar seperti orang bodoh. Ah, mungkin saja. Semua kemungkinan ada, termasuk kemungkina jika Ugi dan keluarganya melupakan aku yang masih terlelap di rumah karena terlalu bersemangat.
“Enggak ada, belum ada yang datang dari Tasikmalaya. Pak Hamim bilang nunggu kalian dari jam 2 sampai pagi ini tapi belum datang juga. Ada apa sebenarnya?”
Ana mendapatiku tersungkur di sudut kamar. Aku benar-benar memprihatinkan. Kuyuh dan lemas tak berdaya. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, apa maksud Ugi memperlakukan aku seperti ini? Jika memang dia tak menghendaki pernikahan ini terjadi harusnya dia tak usah memaksakan semuanya. Aku lunglai.
Ana memelukku erat, sangat erat. Aku hanya bisa merasakan sakit di lenganku namun tak mampu lagi meminta Ana melepaskan pelukannya. Aku tak mampu lagi menangis, semua begitu kelam aku rasa. Mataku terasa kering, dadaku sesak dan terasa penuh dengan pertanyaan yang belum aku tahu jawabannya.
Malam itu juga Ana membawaku pulang ke Surabaya. Dia tak lagi bertanya setelah semua pertanyaannya tak ada yang mampu aku jawab. Aku tak lagi seperti mayat hidup. Tapi aku sudah benar-benar mati. Seperti tak bernyawa dan dingin.



[1] “Silahkan, apa yang mau diomongkan?”
[2] “Jangan disimpan saja bunda, nanti jadi bisul lho”
[3] Doa untuk pengantin 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar