Minggu, 12 Februari 2012

FIVE-IN (BAB III NovelQ)


Five-in

Aku mengenalnya dua tahun yang lalu, setelah 1 tahun sebelumnya aku hampir mati kerana cinta Daniel yang hilang. Aku yakin akan menutup pintu hatiku selamanya saat itu. Namun apa iya? Aku salah. Sekarang dia hadir di hidupku, mengisi hari-hariku, memberi kebahagian luar biasa yang tak pernah aku dapatkan dari siapapun.
“Hay....,” teriak seseorang dari arah belakang. Aku tak peduli. Aku hanya terpekur menatap lurus ke laut lepas. Membiarkan riak-riak ombak bermain di antara mata kakiku.
Aku masih teringat betapa dengan mudah Daniel memutuskan pertunangan kami. “Aku memiliki wanita lain” Ucapnya tanpa rasa bersalah. Aku remuk. Dadaku seperti dihujam palu besar penghancur batu cadas para penambang batu kapur di Gunung Pegat desa Babat Lamongan, namun palu itu terasa begitu membara. “Kita putuskan semuanya saat ini” setelah itu dia pergi. Tak mengucapkan kata-kata lagi. Bahkan untuk sebuah kata maaf sekalipun.
Tak ada satupun yang bisa aku lakukan saat itu. Bahkan menangispun aku tak bisa. Air matkua sulit sekali mengurai, walau hatiku sudah tak berbentuk sama sekali. Yang terjadi setelah itu, aku kolaps. Semua pekerjaanku berantakan. Kesehatanku memburuk jatuh ke titik parah.
“Aku butuh istirahat Na,” Aku meminta izin pada Ana selaku penanggung jawab di corporate kami untuk pergi menenangkan diri. “Aku butuh waktu untuk sendiri” Ana tak bisa menolak. Dia tahu persis rekan kerja sekaligus sahabatnya ini sedang dalam keadaan sangat tidak baik. Dia terpaksa membiarkanku pergi menenangkan diri meski dengan kondisi kesehatan yang tak bisa dibilang normal.
“Jika ada sesuatu, atau kamu butuh apapun segera hubungi aku” ucapnya saat melepasku di stasiun Gubeng, Surabaya. Dia memelukku dengan erat seperti tak ingin aku pergi. “Aku sudah meminta temenku yang ada di Bandung untuk menemani kamu. Edy namanya, nanti dia yang akan membantu kamu selama berada di sana” Aku mengannguk lesu.
Sepanjang perjalanan aku hanya bisa terpaku. Seperti mayat hidup. Semua berkelebatan di benakku. Kenapa seperti ini? Apa salahku hingga Tuhan menghukumku seperti ini? Kenapa aku selalu dibuang dan ditinggkan?.
Orang tuaku yang meninggalkan aku begitu saja tanpa mau tahu lagi di mana aku, dengan siapa aku, atau masih hidupkah aku.
Kedua mbahku yang Dia panggil saat aku masih begitu membutuhkan kekuatan untuk bisa bertahan hidup di dunia yang tak menerimaku. Meski aku harus membayar penerimaan mereka dengan kerasnya perlakuan meraka terhadapku. Paling tidak hanya mereka yang mau menerimaku.
Atau ketika sebuah tendangan dan caci-maki dari Paklek Mujib, pamanku yang mengusirku dari rumah, juga tatapan sinis Paklek Amin dan Bulek Ndalikah ketika melihatku memungut baju yang terserak karena mereka telah membuangnya. Lalu sebuah senyum penuh ejekan dari Bulek Nuriyati, istri Paklek Mujib yang memang tak pernah suka denganku.
Semua memenuhi memoriku. Mendesak-desak seperti ingin melompat dan menertawakanku. Aku terseduh-sedan dengan air mata yang mengalir deras. Membuat beberapa pasang mata yang berada di gerbong 3 kereta api kelas Eksekutif, Turangga, menatapku antara bingung dan iba. Aku tak perduli. Tak mau peduli. Aku hanya ingin semua cerita ini hilang dari benakku. Dari hidupku.
Aku larut dalam kesedihan yang teramat dalam.
Jika ada orang yang benar-benar peduli dengan keadaanku, merekalah ke empat sahabatku yang selalu bangga dengan apa yang aku lakukan. Selalu memberikan semangat luar biasa sehingga yang aku rasakan tidak ada lain selain kekuatan besar yang membuatku bangkit dari  setiap keterpurukan. Merekalah keluargaku yang sesungguhnya.
Mereka selalu mengatakan jika aku ini seperti rumput liar, yang bisa hidup di manapun, bertahan dalam situasi apapun, dan menjadi pionir mahluk hidup lain untuk sebuah ekosistem baru. Mereka adalah teman-teman terbaikku. Kami bersama-sama membangun dengan susah payah sebuah corporate yang kini mulai menjadi kebanggaan bagi kami. Five-in Corporation, diambil dari keanggotaan kami yang lima dalam satu visi yang sama. Ada Ana, Tucha, Saidah, Icha juga aku.
Kami bersahabat sejak sama-sama menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren yang berada di desaku. Pondok pesantren yang mengajarkan kami banyak hal, yang menghadiahkan kepada kami persahabatan indah ini. Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah menjadi saksi persaudaraan di antara kami.
Dengan kesamaan fisik yang sama-sama mungil waktu itu, membuat kami terlihat selalu kompak ke manapun dan di manapun. Seperti kembar lima beda orang tua kata teman kami yang lain. Kami selalu menjadi simbol keluguan di kelas kami. Selain fisik yang sama-sama mungil, kamipun tak pernah suka terlibat dalam perbincangan tentang masalah cinta monyet yang marak terjadi di antara ke 25 siswi di kelas kami. Entah karena memang kami yang kurang peduli dengan kehidupan pubertas pertama kami atau karena kami belum mengalaminya waktu itu. Kami lebih memilih bermain masak-masakan ketimbang ikut nimbrung membaca surat cinta yang diterima salah satu teman kami. Kami sama-sama lugu waktu itu, karena itulah kami berteman. Dan sampai saat ini, ketika kami sedang berjuang untuk sebuah pencapaian. Kami  tak mau perduli bagaimanapun kehidupan kami setelahnya, kami akan tetap akan bersahabat.
Ana Fauziyah. Setelah lulus dari UNJ, dia memilih menemani emaknya di kampung dan mengabdi di sana. Sepeninggal bapaknya, praktis hanya Ana yang bisa menjaga emak. Kedua kakaknya telah berkeluarga dan sedang mengikuti tugas dinas di instansi masing-masing. Juga tak mungkin meminta adiknya yang baru memulai tahun pertamanya kala itu di Fakultas Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung untuk pulang pergi Lamongan-Bandung. Karena itulah Ana yang mengambil alih tugas menjaga emak, diapun tidak berkeberatan melakukannya meski dengan itu dia harus rela melupakan Beasiswa Study S2-nya di negeri kincir angin, Belanda.
Ana mengajarkan banyak hal untuk anak-anak di kampungannya. Berbagai macam kerajianan tangan, pengolahan makanan, pemanfaatan sampah menjadi produk trashion atau apapun yang memungkinkan meraka bisa memberdayakan diri mereka sendiri kelak.  Ana juga mengejarkan mereka menulis, karena Ana memang suka menulis. Lalu bersamaku medirikan Five-in di Surabaya 3 tahun yang lalu. Setiap satu minggu sekali dia pulang untuk melihat emak, bergantian dengan kakak keduanya yang juga telah lebih memilih tinggal di dekat emak dan meninggalkan pekerjaannya di Ibu kota.
Maftuchatus Sa’adah. Kami memanggilnya Tucha. Diantara kami, hanya dia yang telah menikah. Dipersunting seorang teman dari pesantren kami dulu. Bahrul Chovi namanya. Mereka mungkin tak bisa dikatakan teman. Sama-sama tak saling mengenal waktu itu. Peraturan pesantren yang memisahkan lokal putra dan putri membuat kami tak bisa banyak mengenal santri putra. Tapi di sinilah letak keunikan dan misterinya. Meraka pada akhirnya menikah. Dan kisah percintaan mereka tetap menjadi rahasia bahkan bagi kami. Mereka bersepakat untuk menutup rapat cerita cinta unik itu. “Untuk konsumsi pribadi” kata mereka. Jika kami berkumpul, merekahlah yang sering menjadi objek gurauan kami. Sering kali kami mengkompori tentang kisah cinta monyet mereka masing-masing, dan kami menikmati sekali ketika mereka saling bertanya dan menuduh.
Saidatul Maghfiroh. Saidah adalah yang paling istiqomah menelateni kehidupannya di pesantren. Setelah lulus dari Aliyah, pendidikan setingkat SMA dalam naungan yayasan yang sama dengan SMP kami, dia melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Swasta yang juga dikelola pesantrean sehingga membuat pengurus yayasan mempercayainya sebagai salah satu pengajar di sana. Namun di sisi lain, dia menyimpan satu opsesi untuk bisa lepas dan keluar dari pesantren. Kami menebak mungkin ada sisi kebosanan yang dia rasakan. Saidah selalu bertanya kapan kami akan mengajaknya untuk ikut marasakan kehidupan di luar pesantren bersama kami. Dan ketika kami mengajakknya untuk bergabung dia menyambut antusias dan mengatakan. “Kenapa ndak dari dulu?”
Icha, gadis imut, lebih imut dari kami berlima. Nur Hayatun Anisa. Diapun sama dengan Tucha, sebentar lagi dia akan dipersunting oleh teman waktu sama-sama nyantri di pesantren dulu, yang bahkan kisah cintanya tak pernah kami duga sama sekali. Kisah cinta yang menurut kami tak biasa. Dia dan calon suaminya sama-sama pendiam, sama-sama pemalu. Kemudian Reuni SMP kami mempertemukan mereka di meja makan. Entah siapa yang memulai untuk saling bercerita, yang pasti mereka sekarang memutuskan untuk sesegera mungkin mengikuti jejak Tucha, membangun kehidupan pernikahan indah mereka. Luar biasa.
Dan aku, setelah berjuang sendiri lebih dari 3 tahun di Surabaya, akhirnya aku mampu mendirikan sebuah usaha kecil di bidang fashion, terkhusus untuk para muslimah. Dimulai dengan keisenganku membuat blog dan memasang foto-foto yang aku ambil dari situs secara acak di internet. Hasilnya di luar dugaan. Respon pasar sungguh luar biasa. Lalu dengan bermodalkan rekening pinjaman dari teman satu kosku, aku membuka semacam Online Shop. Dan dalam waktu 3 tahun aku sudah mampu mengembangkannya dengan mendirikan sebuah CV. Dengan brandku sendiri.
Dibantu dengan ke-empat sahabatku ini, kami mengembangkan corporation kami di bidang industri Fahsion kreatif. Kami memiliki beberapa item fashion di showroom kami, dan mengubah kiblat kami dari sekedar indusrti fashion khusus untuk produk Gamis menjadi industri fashion center for Moeslimah. Kami menyebutnya demikian, meski terkadang kami hanya mengarang saja untuk tema trend kami. Kami tak pernah benar-benar mengerti tentang arah fashion yang sebenarnya. 
“Asal ajalah, toh orang-orang juga ngak tahu kan?” ucap Icha terkekeh. Kamipun tertawa mendengarnya.
Keberadaan Daniel waktu itu membuatku memiliki semangat yang lebih. Aku ingin dia bangga padaku. Aku ingin membuktikan, meski aku tak pernah memiliki kesempatan untuk mencicipi bangku perkuliahan, tapi aku bisa melepaskan diri dari stigma pembawa kutukan dari keluargaku. Aku harus bisa membuat mereka melihatku sebagai seseorang. Daniel meyakinkanku jika aku bisa.
Namun ketika Daniel menghilang, semua menjadi berantakan. Aku kacau, pekerjaanku keteteran. Posisiku sebagai pengawas pemasaran terpaksa digatikan oleh Saidah yang harusnya memegang tim kreatif kami. Aku benar-benar kolaps, dan meminta waktu untuk sendiri.
“Aku mau ke Pangandaran Na” mintaku pada Ana. Dia setuju, meski dia tak mau jika aku pergi sendiri.
“Biarkan aku sendiri dulu Na, semua akan baik-baik saja” Aku meyakinkan Ana. Ana terpaksa setuju, begitu pula teman-teman yang lain. Mereka tahu aku memang butuh waktu untuk bisa sendiri. Semua sadar jika ini begitu berat bagiku.
Aku memilih Pangandaran sebagai tempat merenungku. Sebuah tempat yang aku sendiri tak pernah tahu keberadaannya. Aku hanya mendengar ceritanya dari Daniel. Katanya, Pangandaran adalah surganya keindahan di Jawa Barat, tempat Daniel berasal. Di Pangandaranlah tempat yang kami rencanakan untuk menghabiskan liburan bulan madu kami. Danielpun mengatakan jika kami bisa melihat matahari terbit dan tenggelam dari satu tempat.
“Kita seperti menyaksikan perputaran hari di sana dan tentu saja kita bisa menghentikannya jika kita mau dengan cinta kita pastinya” ucapnya waktu itu, aku tersipu dibuatnya.
Menghentikan hari hanya tinggal cerita. Atau mungkin saja Pangandaran memang akan menghentikan perputaran hari untukku, dengan kematianku. Aku semakin terisak. Membuat penumpang lain menatapku penuh tanya, namun tak ada yang bertanya, mungkin mereka tahu jika aku sedang sangat terluka, dan mereka lebih memilih untuk membiarkan aku larut dalam tangisanku. Sendiri.
Pangandaran, aku tak ingin mengehentikan harimu, tetaplah berputar se arah porosmu, biarkan semua tetap seperti titah Tuhanmu, sesuai peredaran mataharimu yang cantik. Aku hanya ingin melihatmu sebagai janji pada cintaku yang telah hilang, sebagai pengobat untuk luka yang saat ini mengangah dengan lebarnya. Semoga kamu bisa mengerti.
“Hay.., awaaass”seoarang berteriak seperti meneriakiku. Aku tak ingin peduli, namun teriakannya yang terus menerus membuatku terusik. Dan ketika aku menoleh, orang-orang di bibiran pantai terlihat kecil dan jauh. Mereka melambai, menunjuk-nunjuk mungkin juga berteriak ke arahku, tapi aku tak bisa mendengarnya. Ombak Pangandaran bukan lagi berlari-lari di mata kakiku, tapi hampir menenggelamkanku. Aku tersengal-sengal. Nafasku naik turun. Kepalaku timbul-tenggelam di permainkan ombak Pangandaran.
Pangandaran, apakah aku bisa membuatmu menghentikan hari. Untuk hari ini saja. Atau aku benar-benar akan  mati di sisimu.
Kesadaranku mulai hilang. Aku merasakan paru-paruku penuh dengan air. Aku seperti tercekik. Nafasku tersengal-sengal kian berat. Dan di saat antara hidup dan matiku aku seperti melihat bayangan seseorang mengulurkan tangannya untuk menuntunku. Dia tersenyum dengan manis. Matanya seperti mengatakan jika aku akan baik-baik saja.
“Daniel” bisikku lirih.
“Apa aku akan mati Daniel?” Aku hanya bisa melihat gelap yang pekat, namun tidak dengan wajah itu. Wajah itu seperti bercahaya dalam kegelapan. Wajah itu terus memberiku keyakinan  jika aku akan baik-baik saja.
“Daniel, kau kah itu?” Aku mencoba meraihnya di tengah kepayahanku melawan cekikan ombak Pangandaran. Diapun meraihku, memelukku, seperti ingin memberiku perlindungan dalam dekapannya, “Jangan tinggalkan aku” Aku terisak di pelukannya,
“Aku tidak akan pergi sayang,” ucapnya. Dia terus mendekapku erat. Lalu mendekatkan bibirnya ke bibirku. Aku terpejam, mencoba memberikan bukti cinta yang pernah dia minta. Aku tak ingin kehilangannya lagi. Aku tak ingin melepaskannya, selamanya.
Dan ketika aku membuka mata, semuanya tiba-tiba menjadi sangat silau. Pangandaran yang ganas sepertinya telah melepasku. Aku seperti sedang bermimpi. Bermimpi Daniel kembali padaku, menatapku, memelukku dan menciumku. Tapi mimpi itu sepertinya masih bisa aku rasakan. Aku masih bisa merasakan hangat cuiman yang dia berikan. Aku mencoba bersahabat dengan benderang yang tiba-tiba. Aku buka mata sedikit demi sedikit, lalu menyaksikan beberapa orang mengerubungiku. Aku merasakan seseorang memegangi kepalaku, membuka mulutku dan,
 “Apa-apaan ini?” Aku tersentak. Seseorang menciumiku di depan umum saat aku tidak sadarkan diri? Aku muntab. “Kamu gila ya?” sekonyong-konyong aku mencoba berdiri. Memaksakan diri untuk bangkit dan melihat siapa yang sudah kurang ajar terhadapku.
“Kamu yang gila” seorang pemuda berbalik membentakku. “ Kamu mau mati ya?” sentaknya lagi. Entah kenapa aku reflek menggeleng “Ombak sedang pasang dan kamu terus berjalan ke tengah, kalau tidak mau mati mau apa? Kalau mau bunuh diri jangan di sini non, merusak pemandangan”
Aku terisak. Kenapa orang ini memarahiku? Aku tak pernah bermaksud membunuh diriku, semua terjadi di luar kontrol. Aku terseduh dan terus menagis, lalu luruh terduduk di pasir putih Pangandaran. Rupanya hal itu membuat pemudah di depanku luluh, tak lagi membentakku, mungkin dia sadar telah berkata terlalu kasar padaku.
Dia berjongkok di hadapanku. “Bukan begitu cara menyelesaikan masalah” Dengan lembut dia memapahku, mengantarkanku ke penginapan tempatku menginap dan menitipkan aku ke resepsionis lalu melangkah pergi.
“Tunggu” Dia mengehetikan langkahnya.
“Iya?” jawabnya.
“Terima kasih,” ucapku tulus.
“Sama-sama”  jawabnya dengan seulas senyum yang pernah aku kenal, tapi entah di mana.
“Nama kamu siapa?”
“Aku Lugina, panggil saja Ugi”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar