Senin, 13 Februari 2012

My Destiny (BAB IV NovelQ)


My Destiny

Tasikmalya, 24 Desember 2010
Hari ini tepat dua tahun setelah kejadian itu. Malam dimana nyawaku hampir terampas oleh ombak pasang Pangandaran, telah mempertemukan aku dengannya. Dengan kekasihku.
Setelah kejadian malam itu, aku tak pernah keluar hotel meski hanya sekedar berjalan-jalan di pasar rakyat Pangandaran. Aku tak berniat atau bahkan tak ingin tahu perihal pasar yang katanya kita bisa mendapatkan berbagi macam hasil laut tangkapan nelayan tradisional Pangandaran atau juga souvenir khas Tasikmalaya yang memang terkenal sebagai kota UKM-nya Indonesia. Aku tak berselerah untuk semua itu. Aku lebih suka mengunci diri di kamar, menikmati kesendirian. Sudah 5 hari aku di Pangandaran, namun baru sekali itu aku keluar hotel, dan itupun aku hampir mati. Sudahlah, biar aku menikmati pemandangan matahari Pangandaran yang indah dari balik jendela penginapanku yang langsung menghadap ke lautnya yang lepas.
Tok, tok,
Suara pintu kamarku diketuk. Seingatku aku tak meminta pelayanan apapun dari resepsionis. Aku hanya minta disediakan makanan nanti jam 5 sore, sedang ini masih jam 1 siang. Dengan malas aku mengangkat tubuhku untuk melangkah membuka pintu. Kurapikan jilbab yang aku pakai seadanya, merapikan switer coklat sebagai penutup babydoll lengan pendek yang aku kenakan.
“Siapa?” tanyaku dari dalam sembari melangkah mendekati pintu. “Saya tidak  minta pelayanan kamar” ucapku setelah membuka kamar. Namun bukan pelayan kamar yang aku temukan di depan pintu. Di depanku saat ini berdiri pria bertubuh tidak cukup tinggi, mungkin hanya sekitar 168-170an saja, dan dengan badan yang juga tidak bisa dibilang atletis. Dia tersenyum kepadaku, lalu menyodorkan bungkusan plastik berisi ikan tongkkol asap.
“Assalamualaikum” ucapnya ramah dengan senyuman terlukis di wajahnya.
“Wa,waalaikum salam” jawabku tergagap. Aku rasa mukaku sekarang memerah menahan malu karena kejadian 3 hari lalu. Teringat jika lelaki di depanku itu telah menciumi bibirku. Ah, itu bukan ciuman, itu adalah prosedur penyelamatan pertama untuk korban tenggelam sepertiku. Aku mencoba menghibur diri.
“Sebenarnya sejak kemarin aku ingin mengunjungi Mbak, namun aku tak enak.” Ucapnya dengan suara basnya yang kental. “Aku tadi tanya ke resepsionis apa Mbak sudah pulang atau belum, tapi resepsionisnya bilang Mbak sudah 3 hari ini tidak keluar kamar, boleh tahu kenapa?” tanyanya masih di depan pintu.
“Mbak?” Nada suaraku seperti bertanya. Memang bertanya. Kenapa dia bisa memanggilku Mbak, apa dia tahu aku bukan orang Sunda?.
Dia terkekeh, memamerkan gigi-gigi putihnya yang rapi “Resepsionis bilang Mbak dari Surabaya, jadi saya panggil Mbak saja, kalau teteh nanti takutnya kurang berkenan kan” Jawabnya.
Setelah itu pembicaraan kami lanjutkan sembari berjalan menyisiri pantai Pangandaran. Sesuatu yang sebenarnya tak ingin aku lakukan. Namun dia berhasil membujukku untuk mau keluar, menikmati semilir angin Pangandaran.
“Anda akan jatuh cinta dengan semilir Pangandaran, percaya sama saya” bujuknya.
Dari perbincangan kami, aku tahu kalau dia warga asli Tasikmalaya. Hanya saja dia sedang berdinas beberapa bulan di Pangandaran ini, untuk dinas sosial tempat dia bekerja.
“PNS” ucapku sinis, profesi yang banyak sekali diminati pribumi indonesia.
“Bukan, hanya MoU saja, kotrak dinas istilahnya, kantorku tak ada hubungan struktural dengan pemerintah” dia asyik sekali bercerita tentang aktivitasnya di sini. Mengisi penyuluhan perikanan, pertanian, UKM atau apa saja bidang usaha yang tengah digeluti masyarakat.
“Ya namanya saja unit pelayanan keluarga sejahtera” ceritanya sambil terkekeh. Entah kenapa aku suka sekali melihatnya tertawa. Seperti tak ada beban yang dia rasakan. Tawanya ringan dan lepas. Membuatku untuk ikut tersenyum melihatnya.
“Kamu kalau tersenyum manis lho, makanya, mukanya jangan ditekuk terus, biar tambah manisnya” Aku menunduk, malu. Dia menangkap senyum yang aku coba tahan. Ah, sudah ketahuan juga.
“Kamu lagi liburan ya di sini? Eh kalau di sini itu apa ya bahasa Jawanya” pancingnya untuk aku mau membuka suara. Sedari tadi obrolan kami, praktis hanya dia yang bercerita. Kalaupun dia bertanya, aku hanya akan menjawab dengan menggelang, mengangguk ataupun dengan gumaman yang tidak bisa diartikan sebagai jawaban pasti. Jika aku tak menjawab, itu artinya jawabanku bukan iya atau tidak, tapi aku malas menjawabnya.
Aku kembali hanya mengagguk kecil “Hmmmm, mengangguk lagi, apa nggak cape kepalanya?” dia menarik nafas berat yang sepertinya dibuat-buat.
Ten meriki” jawabku pelan. Dia menghentikan langkahnya. Pun menahan tanganku untuk berhenti pula.
“Apa tadi?” tanyanya seperti tidak medengarkan, atau pura-pura tak mendengar. Aku menggeleng. Tapi dia tetap memaksaku dengan senyumannya yang dia tarik lebih lebar. Aku tetap menggeleng.
Dengan cepat dia menarik tanganku berlari ke arah laut, semakin berlari. Pasir putih  Pangandaran berkecikapan oleh langkah-langkah cepat kami.
“Apa-apan ini?” tanyaku sedikit berteriak. Tapi dia seperti tak peduli dan membawaku semakin ke tengah. “Lepaskan” suaraku hilang ditelan ombak. Tinggi air sudah mencapai lututku. Rok panjangku timbul tenggelam di gelombang laut Pangandaran.
“Bilang dulu tadi apa?” teriaknya dengan senyum penuh kemenangan karena telah membuatku berbicara. Aku menggelang. “Ok, kalau begitu kita mandi sama-sama di Pangandaran” dia tertawa lepas, semakin aku meronta, semakin kuat dia memegangi pergelanganku.
“Lepaskan!!!” teriakku.
“Jawab dulu, apa susahnya sih menjawab?” dia semakin mengajakku ke tengah, hampir ke pinggang air laut meneggelamkanku.
Aku panik, bukan apa-apa, aku memakai rok, bukan celana. Gelombang laut membuat rokku tersingkap. Aku melihat sekeliling, memang tak banyak orang, namun siapa saja bisa melihat ke arah dua orang gila yang tengah bermain dengan air laut yang mulai pasang hingga ke tengah dan tanpa pengaman. Yang aku sendiri masih trauma dengan kejadian 3 hari yang lalu.
“TEN MERIKI…!!!” teriakku dengan air mata yang tiba-tiba keluar. Ugi terkaget, lalu melepaskan pergelangan tanganku yang memerah karena peganganya yang terlalu kuat. “Kamu sekarang yang gila!” teriakku lagi, “Kamu menyelamatkanku dari kematian tapi membiarkan orang melihatku seperti ini,” dia hanya menatapku. Menatap tubuhku yang hampir semua terendam air laut. Aku risih dengan pandangannya. Aku tak pernah suka orang memandangiku dengan cara seperti itu.
Dia menuntunku untuk keluar dari air. Dia berikan jaket yang ia kenakan meski sabagiannya telah basah.
“Maafkan aku” ucapnya sembari memberiku sebutir kelapa muda. “Aku hanya bercanda”
Aku tak menaggapinya. Aku marah. Siapa dia? Apa kita pernah berteman sebelumnya hingga dia berani bercanda seperti itu denganku? Aku hanya diam menatap lurus Pangandaran dari balik sebuah kedai di tepian pantainya.
“Kok marah lagi sih, Ayo lah, kita sekarang bertemankan?”
aku menatapnya sinis, “Sejak kapan berteman?” gerutuku, lalu kembali menatap riak-riak Pangandaran.
“Ok lah, kalau kamu marah, aku pergi saja, permisi” aku tak peduli. Meski dia beranjak pergi aku tak ingin menolehnya. Aku hanya diam tanpa memberikan respon apapun sebelum aku sadar jika aku memegang sebutir kelapa muda dan sadar kalau aku sedang berada terlalu jauh dari penginapan. Kulirik kantong rokku yang basah dan tak mendapati seperpun uang di kantongku. Mukaku terasa panas, ketika penjaga kedai meminta bayarannya kepadaku. Aku panik dan mencari-cari kemana pemudah sok tadi pergi.
Aku melihatnya berjalan pelan ke arah barat. Sepertinya dia sengaja berjalan sangat pelan. Ah, sial. “Ugi..., berhenti dulu...,” teriakku. “Sebentar ya pak” aku beranjak. Penjaga kedai itu mencoba menahanku. “ Saya ambilkan uangnya dulu”
 Aku berlari menyusul Ugi dengan cepet. Dongkol sekali aku ketika tahu dengan tenangnya dia berjalan, dan asyik mendendangkan lagu-lagu yang sepertinya mengejekku. “Berhenti aku bilang” Aku meraih tangannya, lalu merogoh saku di dadanya, dan menemukan selembar uang 50.000. “Enak aja, mau lari dari tanggung Jawab” mataku melotot. Aku berlalu dengan muka memerah. Dari mana aku mendapat semua keberanian itu? Dengan Danielpun aku tak pernah berani meminta, apalagi merogoh kantongnya seperti itu. Duuuh, malu.
Setelah aku bayarkan uang itu dan mendapat kembaliannya, aku kembali menghampiri Ugi mengembalikan sisa uangnya.
“Masukin lagi dong ke sakuku” mulutnya menyeringai nakal.
Aku tak habis akal, aku berikan saja kembaliannya untuk pengamen yang lewat di depan kami. “Eh aa’, satu lagu buat dia ya” sembari memberikan selembar 20.000-an kepada pengamen itu. Pengamen itu melonjak girang.
“Lagu naon teh?” tanya pengamen itu dengan logat Sunda yang kental.
“Apa ya? Ada Band bisa?” pengamen itu mengangguk yakin, “Pemujamu ya” sekali lagi pengamen itu menggguk. Dan suaranyapun mengalun merdu, menyayikan tiap bait syair dengan suara bass yang aku rasa mirip dengan penyanyi aslinya.
Kali ini ku t’lah jatuh ke dalam
Dosa begitu besar, terlalu mencintai begitu dalam
Mata itu berhasil hipnotisku,
Menjerat nafsu jiwa
Mengurungku ke dalam keindahan
Rasanya ingin malam ini menciummu, hingga lemas
Rasanya ingin malam ini memelukmu, hingga terlelap.
“Adek suka?” aku menyaksikan Daniel dengan kagum, aku baru tahu ternyata dia mahir memainkan alat musik petik itu. Aku mengguk dengan senyum mengembang.
“Adek sadar nggak kalau adek itu punya mata yang indah?” aku menggelang. Tak ada yang indah dari sisi manapun di sudut wajahku. Wajah khas pribumi indonesia keturunan Jawa, Jawa Timur yang dekat dengan laut utara pulau Jawa. Panas dan kering. Bisa dibayangkan jika kulit sawo matanglah yang aku miliki. Apalagi wajahku, benar-benar tak ada yang menarik. Aku bukan tipe wanita yang bisa membuat orang-orang mengalihkan pendangan ke arahku ketika aku berdiri di pinggir jalan. Wanita yang sama sekali tak menarik untuk dilihat. Hidung pesek dan lebar, bibir yang sama sekali tidak bisa dikata sexy, pipi yang tembem dan sering kali menjadi objek cubitan teman-temanku, juga mata yang tertutup kaca minus 2. lengkap sekali, wajah yang jauh dari kata sempurna ini terbentuk.
“Suka nggak nyadar dengan kecantikan sendiri ni” imbuh Daniel. Aku hanya yengir dan kembali menggeleng. “Kamu benar-benar istimewa sayang” kali ini suaranya seperti menggumam.
“Apa kak?” tanyaku meyakinkan apa yang barusan aku dengar.
“Tau ah, udah lewat” jawabnya ketus. Aku hanya bisa  menggelang-geleng, mencoba merangkai sendiri gumaman Daniel. Kamu benar-benar istimewa sayang. Lalu aku tersipu, merona.
Suara Daniel terdengar mengelun merdu melanakan. Aku tak berkedip menatap matanya yang serius memainkan gitarnya.
“Lagu ini buat kamu sayang” tanganya mencubit hidungku dengan tiba-tiba. Aku yang sedang serius menikmati wajahnya yang tampan tak bisa menghindar. Lalu kami tertawa bersama, saling menertawakan ketertarikan kami. Aku memintanya untuk kembali melanjutkan nyanyiannya.
Kau bagaikan simbol semesta alam
Dan aku pemujamu
Setiap saat bersimpuh di hadapmu.
Kau memegang semua kehidupanku
Keluar dari derita
Menuju kedamaian yang abadi
Pengamen itu memainkan gitarnya dengan serius.
“Daniel” Tubuhku mulai lemas. Aku limbung terhuyung.
“Lia kenapa?” Ugi dengan sigap menahan tubuhku. Memeluk tubuhku yang tiba-tiba lemas.
“Sudah, jangan nyanyi lagi..., suruh dia berhenti Ugi” aku mengiba. Ugi meminta pengamen itu pergi. Pengamen itupun beranjak dengan tatapan kebingungan. Sepertinya dia ingin bertanya apa yang terjadi, namun urung dia katakan. Dia memilih untuk tetap pergi, toh itu bukan urusannya.
Aku menangis sejadinya. Menangis di pelukan Ugi. Aku seperti tak bisa mengontrol emosiku yang seketika meledak, ketika memoriku kembali pada sosok Daniel Impeesa. Kenapa dia harus hadir di setiap sisi hidupku? Kenapa bayangannya selalu saja berkelibat di setiap waktu yang ada di hidupku? Aku ingin melepasnya, melapaskan semua kenangan tentang dia. Aku ingin melepaskan semua kengan tentang kamu, tolong bawa semua kenangan ini pergi.
Aku menceracau tak karuan. Mencoba menghapus semua kesertaan Daniel dalam hidupku. Aku rasakan pelukan ugi semakin kuat. Aku seakan tak peduli. Rindu yang menghadirkan kepiluan ini merenggut kesadaranku, tak peduli pada siapa saat ini aku menyandarkan diri. Aku hanya butuh menangis, menangis untuk melupakan semuanya.
I love you bunda” kecupnya di keningku. Membuat malam ini semakin spesial. Ku tatap lekat wajah lelaki di hadapanku ini, lelaki yang duduk bersebrangan meja denganku. Setiap kali aku menatapnya setiap kali pula aku jatuh cinta.
Happy Anniversary..,” ucapku manis dengan menyuapkan sesendok nasi goreng lada hitam  buatanku. Dia tersenyum menyambutnya. “Sayangnya papa lupa hari ini..,” aku merubah mimik mukaku dengan sedikit semburat kekecewaan.
“Bukan lupa sayang, tapi sedikit tidak ingat” matanya mengerling nakal. “Sedikit sekali” aku tertawa geli.
“Yang namanya lupa ya lupa saja papa, mana ada pakai kadar seperti itu” lalu kami tertawa lepas. Sebuah perjalanan panjang telah kami lalui. Kehidupanku yang berantakan telah luruh dibasuh cintanya yang tulus dan besar. Apa aku masih bisa mengatakan Tuhan tak Adil? Ah, Tuhan adil sekali. Dia tetap ada buatku.
Semua yang terjadi antara kita begitu ajaib sayang, takkan bisa dicerna oleh akal. Kehadiranmu adalah pahala nyata dari setiap kebaikan yang pernah aku perbuat. Teruslah mencintaiku, selamanya.
You are My Destiny” Bisiknya di telingaku, membuat aku melayang, lalu kami bersama, terbang menembus alam terindah bernama cinta.
Aku datang padamu
Bersama bau malam yang gelisah
Mengaromai hasrat yang tak tertahankan
Membuka setiap tabir kapasrahan
Melucuti seluruh helai kapatuhan
Lalu bersamamu
Mengepakkan sayap, Terbang jauh
Menjajaki cinta, Cinta tak terbatas
Menyebrangi ruang
Menghentikan waktu
Membuat iri mayapada
Lalu purnamapun memnyembunyikan wajahnya yang merah

Aku datang padamu
Membawa madu cinta yang memabukkan
Mengajakmu mengelilingi keindahan
Mencicipi wangi surga
Tak terbendung
Lepaskan semua
Lalu melayang, Tak tentu arah
Namun kembali dalam cinta
Cinta yang tak terbatas
Mendobrak akal
Melumpuhkan nyata
Lalu bintangpun berlarian, mencari kehangatannya sendiri

Aku datang padamu
Serupa bidadari yang kelelahan, Mencari perlindungan
Menyusuri dekapanmu yang hangat
Bergulat melawan dingin
Mencoba menarikmu pada satu asa
Hasrat yang jauh
Di atas jiwa yang telah melambung
Terlepas mengangkasa
Menyusuri langit ketujuh
Lalu terkulai dalam danau cinta
Cinta tak terbatas
Sedalam samudra
Setinggi nirwana
Lalu malaikatpun menutup mata Bersembunyi di balik sayapnya yang rapuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar