Selasa, 14 Februari 2012

AKU, KAMU DAN KEBAHAGIAAN (BAB V di NovelQ)


Aku, Kamu dan Kebahagiaan

“Lia, ini sudah terlalu lama, pulanglah” suara Ana di ujung telepon terdengar gusar. “Apa kamu lupa kamu punya banyak tugas di sini?” bukan itu yang ingin Ana katakan. Ana hanya ingin mengatakan. Jangan buat kami hawatir teman. Dia tak pernah bisa mengatakan sesuatu secara verbal dan jelas.
“Iya, aku akan segera pulang. Aku juga tak ingin menghabiskan lebih dari setengah tabunganku di sini” jawabku sekenanya.
“Temenku yang di Bandung bilang dia nggak ketemu kamu di stasiun? Benar itu? Terus kenapa handphone kamu nggak aktif selama lebih dari dua minggu?” Ana tetaplah Ana. Sahabat terhebat yang pernah aku miliki. Dia tak perlu mengatakan jika dia begitu teramat-sangat hawatir kerana aku tiba-tiba menghilang, tapi dari pertanyaannya itu aku tahu dia lebih dari sekedar hawatir. Aku baik-baik saja kawan. “Kapan pulangnya? Biar kami jemput di bandara”
“Naik kereta saja. Aku lebih suka pakai kereta”
Sudah waktunya aku kembali. Sahabat-sahabatku menantikan kehadiranku. Aku sudah membuat meraka terlalu khawatir dengan hilangnya aku selama lebih dari dua minggu. 17 hari tepatnya. Keputusanku untuk menyendiri memang tak bisa diganggu gugat. Tidak juga bantuan dari teman Ana yang berada di Bandung. Bagiku itu bukan sebuah bantuan, melainkan bentuk lain dari pengawasan yang Ana siapkan dan aku benar-benar sedang tidak ingin ada pengawasan dalam bentuk apapun. Lalu aku tak pernah menemuhi Edy, teman yang Ana minta menemaniku selama di Pangandaran.
Ugi memandangiku tanpa berkata apapun. Kami sama-sama terdiam. Lama sekali. Lebih dari  dua minggu ini dia adalah tempatku mengadu. Entah kenapa aku merasa nyaman berbagi cerita dengannya. Pengalamanku yang cukup menyakitkan tentang orang-orang di sekitarku membuat aku menjadi pribadi yang sulit menerima orang baru di hidupku, tapi tidak dengan Ugi. Dia berbeda. Dia bisa membuatku merasa nyaman untuk menceritakan apapun.
“Aku pulang ya A’, terimakasih telah dijaga selama di sini” dia hanya menatapku. Tak ada satu katapun yang terdengar darinya. “ Kenapa diam? Kan kita masih bisa ketemu lagi. Insyallah,”
Tak bosannya kami menyaksikan semburat senja yang indah di ufuk barat. Seperti lembaran permadani jagad raya yang menutupi langit dengan warnanya yang anggun. Kemerahan bersulam emas dan sedikit gumpalan awan abu-abu berlalu-lalang. Bertambah cantik dengan pantulan cahaya matahari di gelombang laut yang tenang, Seperti dilatasi dua benda yang sama-sama ingin menunjukkan kecantikannya. Ditambah semilir angin Pangandaran yang menenangkan itu, membuat semua beban serasa menguap.  Kamu benar A’, aku telah jatuh cinta dengan semilir angin pangadaran.
“Jadi kapan pulangnya?” suaranya terdengar serak. Tatapannya tak beralih dari senja yang kemerahan itu.
“Besok,” jawabku
“Tetaplah di sini” ucapnya lirih.
“Aku ingin, tapi aku punya banyak tanggung jawab di Surabaya. Aa’ kapan-kapan mainlah ke Surabaya. Aku yang akan menemani” kenapa jadi aku sekarang yang  membujuknya? Terkadang kamu seperti anak kecil juga ya Tuan penolong. “Atau aku yang akan ke sini lagi”
Tak ada yang menduga aku bisa pulih sedemikian cepet. Ana terheran ketika aku berlari dengan senyum mengembang menyambut pelukannya. Dia menatapku penuh tanya ketika kami bertemu untuk pertama kali di stasiun Gubeng, seperti tak percaya menyaksikan 1800 perubahanku. “Nice to see u sista” ucapnya sembari memelukku erat namun dengan nada yang masih tak yakin.
“Semua baik-baik sajakan?” tanyanya untuk kesekian kali, dan aku mengangguk mantap meyakinkannya jika aku tetap temannya yang sama, yang 17 hari lalu dia lepas kepergiannya dengan sisa hidup yang sepertinya tak akan lama.
Ku lihat juga semua temanku datang menjemput. Lengkap. Beserta Chofi, suami dari Tucha. “Mbak Lia.., kangen” tucha memelukku erat. Seperti telah lama sekali kami tak bertemu. Setelah itu Icha dan Saidah. Semuanya menyambutku dengan bahagia.
Sudah kuputuskan untuk mengubur kisah itu dalam. Menyimpan masa lalu itu dengan rapat. Tak perlu lagi aku mengingat seseorang yang mungkin kini tak lagi mengingatku. Aku bisa melakukan itu pada kedua orang tuaku, juga keluargaku, mana mungkin aku tak bisa melakukannya pada seseorang yang sebelumnya juga adalah seorang yang asing.
Setelah itu, aku kembali pada rutinitasku. Sebagai manager marketing courporate kami. Kangen sekali aku pada ruangan kecilku di lantai tiga ruko yang kami beli dengan susah payah ini. Ruko yang kami bilang sebagai cikal bakal dari gedung pencakar langit yang akan kami miliki nanti.
Semua tetap sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Tetap berantakan dengan kertas catatan yang tergelatak di sembarang tempat. Hmm, ternyata aku memang tak pernah bisa rapi. Aku menghela nafas berat, lalu menertawakan kekonyolanku sendiri. Sepertinya teman-temanku tidak menyentuh sama sekali barang-barangku di ruangan ini. Aku memang tak pernah suka orang lain memindahkan barang-barangku tanpa seizinku. Dan itu yang mereka lakukan untukku. Tak memindahkan satu barangpun dari ruangan ini.
Rasanya sudah lama sekali aku tak melihat kesibukan di jalan raya Karang Menjangan dari jendela ruanganku. Sesuatu yang dulu sering aku lakukan sebelum cinta Daniel menjadikanku mayat hidup karena perpisahan itu. Aku selalu suka menikmati keramaian jalan Karang Menjangan. Jalan utama yang persis di depan ruko kami. Tak terlalu padat dengan aktivitas lalu lintas. Hanya sesekali dan pada jam tertentu saja kepadatan terjadi di sana, dan itupun tak terlampau parah menurutku. Kendaraan-kendaraan itu seperti sedang berlomba menaklukan waktu. Saling berkejaran dengan satu tujuan pasti, untuk segera menemui arah lari mereka. Aku menyaksikan deretan itu, seperti melihat pada diriku sendiri. Melihat kaki kecilku yang sedang berlari mengejar dimensi hidup untuk segara sampai di tujuan hidupku, berlari menjemput mimpi. Ah, sok dramatis sekali.
 Lokasi ruko kami yang  tepat menghadap jalan raya itu menjadi sangat strategis dengan diapit antara rumah sakit umum daerah Dr. Soetomo dan beberapa perguruan tinggi terkenal di jawa timur. Tentu saja hal itu memberi dampak yang sangat baik untuk bisnis yang sedang kami kembangkan. Akses yang mudah adalah salah satu syarat yang harus ada untuk pengembangan bisnis seperti yang sedang kami geluti.
Kluing, handphoneku berbunyi. Sebuah sms masuk.
“Pagi Lia manis,” dari nomor baru. Aku tak pernah suka membalas sms-sms iseng seperti ini. Aku biarkan saja. Aku kembali menikmati pemandangan di bawah sana.
Kluing, Kembali satu sms aku terima.
“Aku tahu kamu tak akan membalas sms seperti ini” aku mulai penasaran. Tapi aku mencoba tak perduli. Jika orang itu perlu pasti akan mengatakan kepentingannya menghubungiku. Belum sempat aku menikmati lagi pemandangan di bawah sana, satu sms kembali aku terima. “Maukah kamu mentraktirku es kelapa muda di pinggiran pantai Pangandaran?” aku terbelalak. Ah kamu, suka sekali memberiku kejutan.
Segera kudial nomor baru itu dan mendapati suara cekikikan dari seberang sana. “Assalamualaikum Manis” entah kenapa aku seantusias ini menyambut telepon darinya.
“Waalaikum salam” jawabku. “Jahat ah, aku pikir siapa tadi, jangan suka iseng atuh”
“Keisengan yang paling aku suka ya ngisengin kamu” aku dengar tawanya yang renyah. Tawa yang membuatku rindu pada pemiliknya. Ups? Rindu?.
“Kok Aa’ tahu nomor teleponku?” seingatku aku tak pernah memberinya nomor handphone. Dari mana dia mendapatkannya?
“Dunia sudah maju manis, nggak sulit buat ngelacak keberadaanmu” lalu kami tertawa bersama.
“Di Tasikmalaya? Kamu yakin?” Saidah mencoba menebak keseriusanku untuk membuka cabang di sana. “Enggak boleh” Saidah menolak usulku. Dia tahu repotasiku ketika menghadapi permasalahan, lari dan menghilang atau memilih menyelasaikannya dengan caraku sendiri, apapun bentuknya. Apalagi untuk permasalahan seberat kemaren, mungkin Saidah khawatir jika aku akan berbuat nekat dengan cara yang tidak akan mereka tebak sebelumnya.
“Usaha kita di sini sudah bisa berdiri tanpa aku, atau aku bisa mengontrolnya di Tasikmalaya nanti” aku mencoba melobi sahabat-sahabatku ini. Mereka tampaknya masih belum mempercayaiku apalagi ditambah dengan peristiwa menghilangnya aku selama 17 hari.
“Kita baru memulainya di sini Lia, mana mungkin kamu sudah meninggalkannya” Saidah bersikeras.
“Kita perlu perluasan secara nasional” jawabku diplomatis.
“Kita kuatkan dulu yang di sini”  Icha melengkapi. Mereka tentu tahu, aku tak mudah dipatahkan tanpa argumentasi yang lebih kuat dari keputusanku. “Jangan terlalu terburu-buru” Icha menambahi.
“Aku yakin usaha ini akan berdampak baik. Tasikmalaya daerah yang startegis teman” apa kalian sudah tahu kalau aku juga ingin menjauh dari hiruk-pikuk Surabaya?.
“Kenapa dengan Tasikmalaya?” Ana memancingku dengan analisis yang  mungkin bisa mematahkan keteguhanku.
“Karena Tasikmalaya memiliki potensi di bidang yang tengah kita jalani. Pariwisata di sana sedang berkembang baik. Banyak investor yang menilai Tasikmalaya sebagai daerah dengan prospek investasi paling cerah dibandingkan daerah lain. Pemerintah tengah mengembangkan daerah ini untuk menjadi daerah tujuan wisata dan belanja. Kiblat wisata dan belanja bukan lagi melulu ke Bandung atau Jogjakarta, melainkan sudah bergeser ke selatan jawa, yaitu Tasikmalaya.” jawabku dengan logika ekonomi yang aku pelajari. Aku tak berlebihan karena memang itulah kenyataannya. Tasikmalaya memiliki potensi yang baik untuk pengembangan usaha industri kreatif kami. Pun memiliki cintaku yang tertinggal disana. Cinta yang takku tahu kapan mulai berseminya. Mungkin sejak ciuman pertama itu, aku langsung jatuh hati  pada Tuan penolongku.
“Berapa nilai yang kamu targetkan?” dengan dingin khas pengusaha muda, Ana mencoba beranalisis atau sekedar menakutiku dengan kata target. Sepertiya kamu belum begitu mengenalku Ana.
“Dua tahun, BEP 100%” Ana tersenyum. Tanda dia menerima tantanganku.
Setelah kepulangaku ke Surabaya, tak sedikitpun mengurangi kedekatanku dengan Ugi. Kami masih sering berbagi kebar melalui media apapun yang memungkinkan kami bisa berkomunikasi. Melalui seluler, BBM, Yahoo Messengger atau pun sekedar inbox Facebook,.
“Kamu serius mau membuka cabang di Tasikmalaya?” tanyanya antusias. Aku mengangguk dan memberinya senyum termanis. Video Messenger memudahkan kami berbagi ekspresi. “Kapan rencananya?”
“Bulan depan, mau survey lokasi. Kalau ada yang pas, langsung mengurus kepindahan. Ini baru melakukan persiapan awal”
“Nanti aku bantu mencarikan tempat yang strategis” Meski remang-remang dari layar Video Messenger, aku bisa melihat semangatnya. “Aku kenal beberapa orang yang bisa membantu untuk urusan bisnis seperti ini” Aku mengangguk.
“Lia, emm, aku boleh mengatakan sesuatu yang sedikit serius?” Nadanya berubah. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang berat.
“Naon A’?”
“Mau ikut bersamaku?” Aku tatap pemuda yang tergambar di balik layar maya Video Yahoo Messenger. Dia seperti sedang berdiri di sampingku, dan aku mengangguk bahagia.
“Ke mana kamu akan mengajakku?”
“Aku ingin membawamu ke sebuah tempat, yang hanya akan ada Aku, Kamu dan Kebahagiaan.
Aku ingin membawamu ke sebuah tempat, yang hanya akan ada Aku, Kamu dan kebahagiaan.
Perkenalkanku dengan A’ Ugi memjadi titik baru dalam hidupku. Kehadirannya seperti sebuah oase yang aku temukan di tengah gurunku yang panjang. Dia datang membawa kebahagiaan untukku dengan tak terhingga.
“Kenapa kamu mencintaiku?” tanyanya di suatu pagi yang indah di tengah padang rumput hijau di bawah kaki gunung Galunggung , Tasikmalaya.
Aku menatapnya dalam. Seperti mencari jawaban dari pertanyaannya. Aku mencintaimu karena kamu mempunyai senyum yang menenangkan cinta, lihatlah bibirmu yang merona seperti bayi itu, berpadu manis dengan kulitmu yang langsat membuat pipimu akan merona jika kau ketahuan memandangiku yang sedang berdandan, seperti seoarang gadis yang tersipu ketika dirayu kekasihnya. Atau lihatlah pula hidung kebanggaanmu itu, mancung runcing dengan gagah. Tapi dari semua itu, aku lebih suka matamu. Matamu yang indah. Mata elang yang membuatku selalu merasakan cinta yang besar ketika menatapnya. Aku mencintaimu lebih dari kata-kata.
“Aku mencintaimu karena kamu bisa memperlakukanku dengan baik A’, tak kurang, tak berlebih” aku genggam tangannya yang hangat. Meyakinkan jika semua yang aku katakan benar adanya. “Kenapa Aa’ mencintaiku?”
Dia menatapku dengan mata indahnya, mata yang selalu membuatku jatuh cinta itu. Mata elang yang menyejukkan.
“Karena aku terlahir untukmu”
Ah, seakan segala keindahan dunia tercurah sekali lagi padaku. Lebih dari ketika Daniel mengatakan pujiannya padaku waktu itu. Lebih dari kebahagiaan wanita manapun di dunia ini. Lebih dari semua cinta yang pernah ada.
Aku hanya wanita
Yang  ingin mencintaimu dengan sempurna
Seperti malam yang malang tanpa gelap
Laksana pagi yang hilang tanpa terang
Aku hanya wanita
Yang ingin mencintaimu dengan benar
Seperti bilangan ganjil dengan genap
Laksana detak jantung dalam hitungan
Aku hanya wanita
Yang ingin mencintaimu dalam nyata
Seperti bias dalam ruang hampa
Laksana cakrawala dalam semesta
Aku hanya wanita
Yang akan mencintaimu selamanya
Seperti setia angin kepada udara
Laksana kepatuhan hamba kepada Tuhanya
Aku hanya wanita
Yang akan selalu menemanimu dalam doa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar