Rabu, 15 Februari 2012

TENTANG DIA (BAB VI di NovelQ)


Tentang Dia

Namanya Mochammad Lugina. Seseorang yang hadir secara tiba-tiba dalam perjalan melupakan cintaku bersama Daniel, cinta yang pernah membuatku terluka dengan sangat.
 Tak ada yang benar-benar istimewa darinya. Seperti jejaka Sunda pada umumnya, dia memiliki kulit kuning langsat yang halus. Wajahnya bulat dengan pipi merona seperti bayi. Akan terlihat lucu sekali ketika dia tertawa. Matanya yang sedikit sipit akan membentuk bulan sabit dengan pipinya yang bulat memerah. Bibirnya ranum seperti seorang gadis, pertanda dia tak suka merokok. Matanya tak terlalu lebar, Cenderung sipit malah namun begitu dia memiliki mata yang berkharisma. Pandangannya tajam penuh perhatian, namun menenangkan, mata yang seolah-olah berkata, kamu akan aman bersamaku.
Anak kedua dari 4 bersaudara. Semua saudaranya laki-laki, kecuali adiknya yang ketiga. Sebuah susunan kakak beradik yang unik. Aku sering bilang pada Ugi jika aku selalu iri dengan Milla, adik perempuannya. Akan sangat merasa aman di antara para jagoan yang siap melindunginya. Yang aku sendiri tak pernah merasa dilindungi siapapun sebelum aku memiliki Ugi. Di antara mereka berempat, Ugi dan adik bungsunyalah yang belum menikah. Milla bahkan sudah memiliki seorang putra yang sangat lucu berusia 10 bulan, Rizky namanya.
Dia bekerja di salah satu unit pelayanan masyarakat di bidang kesejahteraan keluarga. Kepanjangan tangan dari dinas sosial kota Tasikmalaya. Tugasnya memberikan penyuluhan tentang bagaimana menjadi keluarga yang sejahtera secara ekonomi maupun sosial. Basicnya sebagai mantan aktivis sebuah LSM kemasyarakatan memudahkan tugasnya menyelami berbagai masalah sosial yang ada di masayarakat.
Tak ada yang benar-benar istimewa darinya, namun cintanyalah yang membuatnya begitu istimewa. Bagiku, mencintainya, seperti memiliki semua yang ada dalam ramuan ajaib bernama cinta. Ada tawa, sedih, senang, duka, kebersamaan, kecemburuan dan apapun yang ada dalam kehidupan. Aku memiliki kisah cinta yang sempurna dengannya. Kami memiliki kisah cinta yang wajar sebagaimana harusnya meski kadang penuh kejutan.

“Sudahlah nda, kayak anak kecil ah” satu kisah tentang bagaimana besarnya cemburuku padanya. Aku cemberut. Terlanjur termakan curiga. “Papa belajar jujur sama Nda” aku tetap tak menjawab. Memalingkan muka menatap ke arah luar jendela peraduan kami.
“Papa yang ganjen” ucapku terbawa emosi. Aku selalu lepas kontrol untuk urusan menangani emosi seperti ini.
“Aduh Nda..., Papa nggak pernah bermaksud seperti itu. Kak Erwin yang memperkenalkanya pada Papa” sekarang dia mencoba mengkambing hitamkan sahabatnya yang sudah dia anggap seperti kakak itu. Mana ada persahabatan seperti itu, mencoba memakankan teman. Aku menggerutu sendiri dalam hati.
“Tapi Papa mau saja menerima perjodohan terselubung itu kan?” tanyaku semakin kalut.
“Apa Papa bisa menolak kalau Kak Erwin yang memperkenalkannya Nda, Bunda fahami posisi Papa dong, Papa nggak sampai hati sama Kak Erwin kalau harus menolak”
“Itulah kesalahan Papa, Papa tak pernah memperkenalkan aku kepada temen-teman Papa. Kita sudah seperti ini tapi tak satupun teman Papa yang Papa perkenalkan pada Nda” Aku benar-benar lost control. Hanya karena cemburu pada seorang wanita yang sengaja dikenalkan Kak Erwin pada Ugi yang status realnya memang masih sendiri. Kak Erwin tak tahu kalau ada aku di sisi Ugi. Ada aku yang mengisi hari-harinya.
“Kita belum siap bertemu siapapun Bunda” aku hanya bisa menangis. Dia memelukku erat, seakan itulah ucapan maafnya yang terdalam.
Atau sebuah kisah lain dimana aku hampir saja membuat Ugi terbunuh. Hanya karena sebuah sms dari seorang wanita yang mengaku memiliki perasaan lebih padanya. Aku muntab. benar-benar marah waktu itu.
“Siapa Lilyana?” aku mencoba untuk tidak menangis dan berpura-pura untuk terus melanjutan acara memasakku. Ugi terbatuk mendengar nama Lilyana disebut. Dia mungkin tak pernah mengira jika aku bisa tentang mengetahui nama itu.
“Nda tahu dari mana tentang Lilyana” tanyanya dengan gusar.
“Makanya, Handphon jangan pernah ditinggal di rumah Papa sayang, aku jadi bisa lihat sms-sms yang menggelikan itukan” aku masih berlagak tak sedang terjadi hal besar. Yang sesungguhnya hatiku sudah ingin menyemburkan magma kecemburuan yang luar biasa.
Sanes sasahana Bunda, mung rerencangan lami[1]
“Papa masih ingatkan, kalau Bunda tidak pernah suka dibohongi?” aku merasa bawang merah yang aku rajang menjadi 10 kali lipat pedasnya, menusuk-nusuk mataku.
Ugi terdiam. Tak mencoba mendebatku. Namun hal itu tak membuat aku lebih baik. Aku hanya ingin penjelasan. Siapa wanita yang mengaku tergila-gila pada Ugi itu. Aku mulai terisak. Ugi sadar hal itu, mermbuat dia bergeming. “Papa berkata benar Nda”
“Apa aku bisa percaya kalau aku sudah baca sms mesra Papa untuk wanita itu?” tangisku pecah. Bagaimana mungkin aku percaya jika wanita yang di ID Numbernya bertuliskan dengan nama Lilyana itu bukan siapa-siapa. “Papa tak pernah bilang punya teman bernama Lilyanan” kemesraan benar-benar terlihat bagaimana cara wanita itu mengagumi Ugi. Tentu siapapun yang membaca sms-sms itu akan tahu betapa dia begitu mencintai Ugi, pun dengan balasan Ugi sendiri, penuh dengan pujian dan sanjungan mesra kepadanya.
“Kamu salah paham Nda, tidak ada apa-apa dengan Lilyana, dia hanya salah satu teman lama Papa. Itu saja”
“Apa aku harus percaya kebohongan itu pa?” pisau yang aku pegang tiba-tiba menjadi perisai dalam pertengkaran ini. Aku tanpa sadar mengacungkan pisau itu ke arah Ugi. Ugi yang mengira aku akan berbuat nekat, reflek mengambil pisau itu dari tanganku dengan paksa. Aku yang terkaget dengan reaksinya langsung mengibaskan pisau itu ke sembarang arah, yang akibatnya lengan Ugi terluka dan berdarah.
Aku langsung histeris. Ku tatap wajah Ugi yang kesakitan. Aku berlari mencari apapun yang bisa mencegah darahnya terus keluar. Memberika pertolongan pertama dan menelephon ambulance untuk membawa kami ke rumah sakit.
“Enggak usah ke rumah sakit Nda, cuma luka sedikit saja kok” aku membersihkan lukanya dengan air mata berderai. Antara rasa bersalah dan kesakitan melihat luka di lengan kekasihku.
“Maafin Nda pa, Nda ngga sengaja. Nda keget melihat Papa tiba-tiba meraih pisau di tangan Nda, padahal Nda nggak ingin melakukan apapun” dia raih tubuhku. Di bawanya aku ke dadanya yang berdegup kencang.
“Percaya sama Papa Nda, tak ada siapapun selain Nda di hati Papa. Hanya Bunda” Kami menagis bersama dalam keharuan. “Kalaupun Papa harus berselingkuh, Papa hanya akan menyelingkuhi bayangan Bunda”
Lihatlah betapa besar cintaku padamu sayang. Bahkan dengan bayanganku sendiripun aku bisa cemburu.

Pun bagaimana dia menujukkan rasa cintanya dalam bingkai cemburu yang pas, tak berlebihan namun membuatku merasa benar-benar dicintai.
“Mau dicat apa kamar kita nda?” Kami kebingungan memilih pulahan daftar warna di sebuah toko bangunan di ujung jalan RE Martadinata. Dia sedikit cemberut karena diskusi panjang kami sampai detik inipun tak menemukan titik temu.
“Eem, Beauty Romantic” pekikku setelah berfikir cukup lama. Raut Ugi langsung berubah. Meski mencoba tenang, namun gurat ketidaksukaan begitu terasa.
“Nah.., bagus itu. Cocok untuk kamar pengantin” Koh Ayong, sang pemilik toko menimpali, membuat Ugi yang ingin menolak urung menyampaikan. “Anak muda sekarang pinterlah pilih warna” imbuk Koh Ayong dengan logat tiong-hoanya yang kental. Ugi semakin cemberut.
“Gimana pa?” tanyaku mencoba tak menghiraukan perubahat raut diwajahnya.
“Terserah Bundalah” jawabnya sembari ngeloyor pergi, membuat aku dan Koh Ayong melongo.
Sepulangnya dari toko bangunan itu Ugi tak menyapaku sedikitpun. Dia langsung menuju kamar dan merebahkan tubuhnya. Aku hanya bisa menarik nafas panjang.
“Papa kenapa sih?” kuusap pungunggnya sembari menatap lekat wajahnya, mencoba menetralisir sebuah kecemburuan yang mungkin saja dia rasakan saat ini.
“Kamu masih ingat Daniel ya?” tebakanku  benar, kamu sedang cemburu sayang.
“Masih,” jawabku tenang. Dia kontan memutar tubuhnya, semakin membelakangiku. “Lho? Kok marah?” aku suka gayamu yang seperti anak kecil ini sayang.
“Cat saja semua ruangan di rumah ini dengan warna favorit kalian” nadanya sedikit meninggi, aku terkaget. “Beauty Romantic…, hmm, sok imut banget” ungkapnya penuh cibiran.
Beauty Romantic, tema warna yang dulu aku dan Daniel rencanakan akan menghiasi setiap sudut rumah tinggal kami, warna yang kata Daniel akan menjadi simbol kemesraan. Namun bukan berarti Daniel masih ada di hati dan pikiranku saat ini. Aku hanya suka warna itu, seperti wanita pada umumnya. Warna-warni pink, ungu, maroon atau gradasinya. Warna-warna cinta yang romantis. Tak ada yang salah dengan warna seperti itu aku kira. Aku hanya tersenyum di balik tubuh Ugi, kekasihku yang sedang cemburu.
“Duuh, ada yang lagi cemburu ni…,” aku mencoba merayu dengan memeluknya dari belakang.
“Siapa yang cemburu?”
“Papa” jawabku dengan cepat. Dia langsung membalikkan tubuhnya dan menatapku lekat.
“Sekarang jawab dengan jujur, kamu masih ingat-ingat Daniel nggak?” dia seperti ingin mengintimidasiku.
“Eitss,” aku menjauhkan wajahnya yang terlalu dekat dengan mataku. “Masih ingat iya, tapi kalau untuk mengingat-ingat, maaf, sudah enggak ada waktu. Waktu Bunda sudah habis hanya untuk mengingat satu cinta yang saat ini menatap Bunda dengan garangnya” dia semakin melotot. aku balas melotot, lalu kami sama-sama tertawa, menertawakan kekonyolan kami.
Seling cemburu, saling mengungkapkan bahasa cinta yang luar biasa.
Kehidupanku di Tasikmalaya bisa dikatakan baik, teramat baik. Usaha yang aku kembangkan, maju pesat. Pemasarannya mulai melebar ke beberapa daerah di sekitar Tasikmalaya. Five-in mulai dikenal sebagai life style fashion kota berjuluk Delhi Van Java itu. Dengan mulai banyaknya outlet-outlet yang kami buka, dibantu dengan tangan dingin Ugi dalam menentukan segmen pasar, membuat usahaku berkembang dengan cepat. Ugi memang jeli membidik trend yang sedang ada di pasaran. Industri kreatif yang aku jalankan berjalan dengan grafik yang terus meningkat karena pengaruhnya. Tak percuma dia pernah memdalami ilmu psikologi pasar di bangku perkuliahan dulu. Nilai IPK nya yang Summa Cumlaod adalah bukti pengakuan Universitas Siliwangi kapadanya sebagai mahasiswa berprestasi. Kamu memang hebat Tuan Penolong.
Teman-teman Five-inku pun dibuat kagum. BEP 100% yang aku janjikan kembali dalam waktu dua tahun bisa terpenuhi hanya dalam kurun waktu 1 tahun saja. Mereka memujiku sebegai marketing didikan alam. Mereka tak pernah tahu jika ada sesosok istimewa di sisiku. Sosok yang selalu mendukungku, apapun itu. Mereka tak tahu jika ada Ugi di sampingku.
Hingga suatu saat,
Ana menatapku tajam. Seperti ingin menghukumku atas sebuah kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku tak bisa membuat semua lebih baik. Saat ini, hanya inilah yang bisa aku lakukan.
“Kamu sudah berfikir sebelum mengambil keputusan itu?” Ana terlihat menahan kemarahan yang besar. Kerutan di dahinya bisa aku lihat dengan jelas.
“Menurutmu apa aku punya pilihan lain?” jawabku membela diri.
“Kamu tentu punya pilihan di setiap keadaan” suaranya terdengar meninggi meski dia membuatnya setenang mungkin.
“Kamu nggak mengerti situasiku Na,”
“Kami memang tak mengerti apa yang membuat kamu mengambil keputusan seperti ini, juga dengan hubungan apa yang sedang kalian jalani saat ini” Ana beranjak meninggalkanku. Aku terisak. Aku tahu dia begitu kecewa denganku.
Tucha memelukku erat. Aku membalasnya pun dengan demikian erat. “Kami sayang sama mbak Lia” Tucha terisak bersamaku.
“Pasti kalian kecewa denganku”
“Bukan kecewa mbak, tapi kami ingin yang terbaik untuk mbak” Tucha semakin mempererat pelukannya.
Saidah menyodorkan segelas air putih kepadaku. “Sudahlah, tenangkan dirimu dulu. Kita bicarakan lagi nanti” ucapnya sembari membelai pundakku.
Aku benar-benar merasa bersalah dengan sahabat-sahabatku ini. Apa aku bisa disebut teman yang baik untuk mereka padahal meraka selalu ada untukku? Aku seperti tak tahu balas budi. Seperti seseorang yang tak pernah mengenal rasa terimakasih. Tapi bukan seperti itu keadaanya. Aku hanya ingin hubungan kami, hubunganku dengan Ugi yang sudah begitu jauh tak lagi menumpuk dosa. Bagaimana kami sudah terlalu jauh mengartikan cinta dalam bungkus hasrat sebagai dua insan muda yang tengah dimabuk asmara.
Suasana ketika itu grimis setelah hujan lebat. Rintik-rintik dan dingin. Aku melihat Ugi tersandar di sofa ruang tengah rumah yang aku beli sebulan setelah aku putuskan pindah ke Tasikmalaya. Kesibukannya dengan penyuluhan di pedalaman Tasikmalaya membuatnya terlihat sangat letih.
Lemon tea hangat adalah kesukaannya. Aku buatkan dengan sedikit menambahkan gula batu. Pas untuk sore yang dingin.
“A’, diminum tehnya, mumpung masih hangat” kubelai bahunya, mencoba membangunkannya.
Dia memberiku senyuman di tengah kelelahannya dengan mata yang masih memerah. “Eem, mana sayang?” aku berikan secangkir teh yang telah aku siapkan sembari membersihkan peluh di pelipisnya.
Cape ya A’?” tanyaku.
“Iya sayang, hari ini ada penyuluhan di daerah Taraju, jalanannya berkelok-kelok, di kanan kiri jurang dan tebing, ada beberapa titik bekas longsor. Jadi agak cape”
“Laper nggak?”
“Laper banget” jawabnya polos. Aku berniat beranjak namun baru saja akan berdiri tangannya mencegahku. “Mau kemana?”
“Mau nyiapain makan buat Aa’” jawabku.
“Enggak usah, temani saja Aa’ di sini” dia tarik tanganku dengan tenaga yang sedikit berlebihan menurutku. Membuat aku limbung dan jatuh menindihnya.
“Aa’, iseng ah, lepasin. Malu dilihat orang” tapi dia tak menjawab. Dia hanya menatapku lekat. Dan sekali lagi, mata itu membatku terlena. Membuat kami terbang ke arah lain dari cinta.
Ya Allah,
Jika malam ini aku hadir dalam sisi-Mu sebagai  manusia yang salah
Maka ampunkanlah, sebegaimana sifat asih-Mu
Hamba datang dengan penuh kepasrahan atas takdir yang Engkau gariskan,
Atau jalan takdir yang hamba pilih
Ya Allah,
Hamba haturkan selaksa permohonan untuk sebuah kegundahan
Resah hati yang membara,  menjadi kian parah
Lalu jiwa terparut luka, dalam perih yang tak terhingga
Ya Allah
Hamba mencintainya, dengan teramat sangat
Seperti cinta Zulaiha kepada Yusuf, seperti cinta Muhammad kepada Khodijah
Hanya caraku mencitainya salah, tak setulus cinta Adam kepada ibu Hawa
Ya Allah, untuk cinta yang lain ini,
Ampuni caraku memperlakukannya, pun caranya memperlakukanku
Kami hanya manusia yang begitu terlupa karena sebuah kefanaan.

“Ambil ini, ini nomor telepon bapak kamu” Ana menyodorkan sebuah kertas ke arahku. Aku hanya menatap benda itu bergantian dengan raut wajah Ana yang datar. Ana tentu tahu jika aku tak pernah suka orang itu disebut-sebut dalam hidupku, apa lagi harus menghadirkannya di kehidupanku lagi.
“Setahuku, keadaanmu belum melunturkan ketentuan syariat yang harus kita laksanakan sebagai seorang yang beriman” dadaku naik turun. Menahan nafas yang tiba-tiba berat.
“Kami tak melakukan kesalahan dalam pernikahan ini” jawabku.
“Menurutmu apa hukum pernikahan yang salah satu saja rukunnya tak terpenuhi?” kali ini aku rasakan tatapan Ana seperti menghakimiku. “Tak usah dijawab, aku yakin kamupun tak ingin menjawabnya, bagaimanapun setiap anak perempuan tetap butuh wali sah untuk menikahkannya”
“Wali hakim sudah cukup untuk menikahkan kami” jawabku dengan nada tinggi.
“Jangan hilangkan haknya sebagai bapak kandungmu Lia. Dia punya hak untuk menikahkan anak perempuannya, dan kamu tak berhak menggantikannya dengan siapapun selama dia masih ada”
“Dia telah membuang haknya saat dia menelantarkanku”
“Kamu bukan Tuhan yang bisa menghukum seseorang. Biarkan itu menjadi hak prerogatif Tuhan. Kami tidak akan pernah membiarkanmu menjadi pelanggar peraturan Tuhan”
Aku tak sanggup lagi berkata-kata. Semua tertumpuk dalam dadaku yang sesak. Aku merasa menjadi seorang pendosa dengan deretan kalimat yang Ana ucapkan. Aku menangis, namun hanya bisa didengar oleh hatiku.
Ana meraih tanganku. Menggenggamnya erat, penuh kasih. “Jika kamu masih berat untuk menghubunginya, biar aku yang memintanya untuk menyelesaikan kewajibannya, mengantarkan putri cantiknya ini kepelaminannya yang suci, dengan syari’at yang agung”



[1] “Bukan siapa-siapa bunda, hanya teman lama”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar